Tinjauan Umum tentang Koperasi dan Masyarakat Muslim di Kota Makassar
- A. Pengertian, Fungsi, Prinsip dan Macam-macam Koperasi
- 1. Pengertian Koperasi
Koperasi merupakan istilah serapan dari bahasa Inggris “co-operation /co’operate yang diartikan sebagai bekerja dengan bersama-sama.[1]
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia koperasi diterjemahkan
dengan perserikatan yang bertujuan memenuhi keperluan kebendaan para
anggotanya dengan cara menjual barang-barang kebutuhan dengan harga
murah (tidak bermaksud mencari untung).[2]
Arifinal Chaniago mendefinisikan koperasi sebagai suatu perkumpulan yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum, yang memberikan kebebasan kepada anggota untuk masuk dan keluar, dengan bekerjasama secara kekeluargaan menjalankan usaha untuk mempertinggi kesejahteraan jasmaniah para anggotanya.[3]
Sedang menurut Moh. Hatta “Bapak
Koperasi Indonesia” mendefinisikan koperasi lebih sederhana tetapi
jelas, padat dan ada suatu visi misi yang dikandung koperasi. Menurutnya
koperasi adalah usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan
ekonomi berdasarkan tolong menolong. Semangat tolong menolong tersebut
didorong oleh keinginan memberi jasa kepada kawan berdasarkan ‘seorang
buat semua dan semua buat seorang’.[4]
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian Pasal 1 ayat (1) disebutkan tentang pengertian
koperasi sebagai berikut: Read more …
Universitas Pascakolonial
Posted on February 8, 2011
Demokratisasi
yang dialami oleh banyak lembaga di dunia ini terutama sebagai efek
globalisasi yang mengalami akselerasi berkali-kali lipat dengan bantuan
teknologi informasi modern (internet). Sekalipun globalisasi tidak
selalu memberikan hasil yang indah, karena ideologi demokrasi tersebar
dan menjadi pilihan yang menggiurkan, maka kita patut menghargai proses
ini. Dalam bidang pendidikan, kita memperoleh manfaat dari semakin
mudahnya memperoleh informasi. Jika dahulu ilmu yang baru, baru akan
sampai di negeri kita dalam jangka waktu 10 tahunan, sekarang bisa dalam
hitungan bulan atau mungkin juga hari. Sebagai salah satu akibat, pola
hubungan guru-guru juga ikut terdemokratisasi. Karena murid bisa
memperoleh pengetahuan dari sumber-sumber lain di luar gurunya, peranan
guru tidak lagi mutlak menentukan. Kebenaran juga tidak lagi tergantung
sepenuhnya dari guru, murid bisa mengecek kebenaran apa yang dikatakan
gurunya pada sumber-sumber lain. Pendidikan memang masih memerlukan
guru, tetapi lebih pada peran sebagai guide dalam mendapatkan
pengetahuan, perangsang untuk berpikir, patron dalam soal ketekunan,
kedisiplinan, dan kejujuran. Upaya-upaya memonopoli pengetahuan oleh
guru bahkan oleh seorang Penemu sekalipun tidak lagi terlihat relevan. Read more …
Category: Ensiklopedi Tags: universitas
Retorika Modern
BAB I
PENDAHULUAN
Tujuan
Tujuan yang diharapkan dicapai oleh mahasiswa setelah mengikuti pembahasan dan diskusi materi pembelajaran, sebagai berikut:
- Mahasiswa dapat mengemukakan beberapa hal yang menyebabkan retorika mengalami kemajuan dan kemunduran
- Mahasiswa dapat mengidentifikasi tokoh dan beberapa ajarannya yang turut berjasah dalam meletakkan dasar retorika pada abad V SM
- Mahasiswa dapat menentukan tokoh yang paling berjasah dalam meletakkan dasar retorika sebagai ilmu tersendiri dan mengemukakan alasannya
- Mahasiswa dapat mengemukakan perbedaan antara retorika pada zaman klasik dengan retorika pada masa menjelang abad pertengahan. Read more …
Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sejarah perkembangan Islam di Indonesia
yang diperkirakan telah berlangsung selama tiga belas abad, menunjukkan
ragam perubahan pola, gerakan dan pemikiran keagamaan seiring dengan
perubahan sejarah bangsa. Keragaman demikian juga dapat melahirkan
berbagai bentuk studi mengenai Islam di negeri ini yang dapat dilihat
dari berbagai sudut pandang. Islam dilihat dari perkembangan sosial
umpamanya, hampir dalam setiap periode terdapat model-model gerakan umat
Islam. Sebagaimana terjadi pada zaman atau periode modern dan
kontemporer yang mengalami perkembangan yang cukup pesat. Read more …
Gerakan Politik Mahasiswa dan Perubahan Sosial Politik Indonesia
PENDAHULUAN
Keberadaan mahasiswa di tanah air,
terutama sejak awal abad ke dua puluh, dilihat tidak saja dari segi
eksistensi mereka sebagai sebuah kelas sosial terpelajar yang akan
mengisi peran-peran strategis dalam masyarakat. Tetapi, lebih dari itu
mereka telah terlibat aktif dalam gerakan perubahan jauh sebelum
Indonesia merdeka. Sebagai anak bangsa yang secara sosial mendapat
kesempatan lebih dibandingkan dengan saudaranya yang lain, mahasiswa
kemudian menjadi penggerak utama dalam banyak dimensi perubahan sosial
politik di tanah air pada masanya. Aktivitas mahasiswa yang merambah
wilayah yang lebih luas dari sekedar belajar di perguruan tinggi inilah
yang kemudian populer dengan sebutan “gerakan mahasiswa”.
Dengan demikian, gerakan mahasiswa
merupakan sebuah proses perluasan peran mahasiswa dalam kehidupan
bermasyarakat. Adanya gerakan mahasiswa dengan perannya yang signifikan
dalam perubahan secara langsung akan membongkar mitos lama di
masyarakat, bahwa mahasiswa selama ini dianggap sebagai bagian dari
civitas akademika yang berada di menara gading, jauh
dari persoalan yang dihadapi masyarakatnya. Disinilah letak pentingnya
sebuah gerakan dibangun, yakni untuk secara aktif dan partisipatif
berperan serta dalam proses perubahan masyarakat ke arah yang lebih
baik. Selain itu, sebuah gerakan yang dibangun juga akan meningkatkan
daya kritis mahasiswa secara keseluruhan dalam melihat berbagai
persoalan yang tengah dihadapi masyarakat, baik dalam konteks lokal,
nasional maupun internasional.
Sejarah menunjukkan bahwa selain
aktivitas gerakan yang berupa tuntutan-tuntutan terhadap persoalan
internal sebuah perguruan tinggi, gerakan mahasiswa juga mampu menemukan
momentum-momentum besar yang menyebabkan keterlibatannya dalam
perubahan politik nasional menjadi sangat penting. Setelah gerakan pada
masa pra kemerdekaan, gerakan mahasiswa tahun 1966 yang meruntuhkan Orde
Lama dan menopang lahirnya Orde Baru hingga gerakan penggulingan rejim
orde tersebut pada 1998 lalu menunjukkan peran mahasiswa yang signifikan
dalam perubahan sosial politik di tanah air. Sebenarnya bangsa
Indonesia mempunyai tradisi meromantiskan kehidupan kaum muda dan
mahasiswa. Hal ini terlihat dari cara kita memandang sejarah modern
bangsa kita, dengan membaginya dalam periode-periode waktu menurut
momentum-momentum besar yang melibatkan pemuda dan mahasiswa dalam
perubahan nasional. Periodisasi sejarah gerakan mahasiswa dan pemuda
Indonesia dalam angkatan-angkatan 1908, 1928, 1945, 1966, dan seterusnya
hingga 1998 juga bisa diartikan sebagai pengakuan terhadap peran
sentral mahasiswa dalam perkembangan dan perubahan perjalanan bangsa.
Namun demikian, ada tidaknya “prestasi sejarah” tersebut tidak menjadi
indikator utama keberhasilan gerakan mahasiswa. Karena pada dasarnya,
gerakan mahasiswa merupakan proses perubahan yang esoterik. Ia akan
terwujud dalam sebuah idealisme dan cita-cita gerakan dalam menciptakan
sebuah masyarakat yang lebih baik dan lebih adil.
Dalam makalah ini penulis akan membahas
bagaimana pertisipasi gerakan politik mahasiswa mempengaruhi proses
perubahan sosial-politik di indonesia.
MUNCULNYA GERAKAN PERUBAHAN SOSIAL
Secara teoritis, literatur-literatur ilmu politik menjelaskan beberapa pandangan yang menjadi penyebab lahirnya sebuah gerakan yang mengarah pada perubahan sosial. Pandangan pertama menjelaskan bahwa gerakan sosial itu dilahirkan oleh kondisi yang memberikan kesempatan (political opportunity) bagi gerakan itu. Pemerintah yang moderat, misalnya, memberikan kesempatan yang lebih besar bagi timbulnya gerakan sosial ketimbang pemerintahan yang sangat otoriter. Kendala untuk membuat gerakan di negara yang represif lebih besar dibandingkan dengan negara yang demokrat. Sebuah pemerintahan negara yang berubah dari represif menjadi moderat terhadap oposisi, menurut pandangan ini, akan diwarnai oleh lahirnya berbagai gerakan sosial yang selama ini terpendam di bawah permukaan.
Pandangan kedua berpendapat bahwa
gerakan sosial timbul karena meluasnya ketidakpuasan atas situasi yang
ada. Perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern,
misalnya, dapat mengakibatkan kesenjangan ekonomi yang makin lebar untuk
sementara antara yang kaya dan yang miskin. Perubahan ini dapat pula
menyebabkan krisis identitas dan lunturnya nilai-nilai yang selama ini
diagungkan. Perubahan ini akan menimbulkan gejolak di kalangan yang
dirugikan dan kemudian meluas menjadi gerakan sosial. Pandangan ketiga
beranggapan bahwa gerakan sosial adalah semata-mata masalah kemampuan
(leadership capability) dari tokoh penggerak. Adalah sang tokoh
penggerak yang mampu memberikan inspirasi, membuat jaringan, membangun
organisasi, yang menyebabkan sekelompok orang termotivasi untuk terlibat
dalam gerakan tersebut.
Selain itu, dalam sebuah perubahan
sosial, selalu ditemukan faktor-faktor penting yang menjadi pemicu
lahirnya perubahan yang pada gilirannya menjadi realitas sosial baru.
Perintis sains-sains sosial Islam, Dr. Ausaf Ali berpendapat bahwa
faktor-faktor penting yang menjadi pemicu perubahan itu adalah: pertama,
munculnya kritik terhadap realitas dan praktek sosial yang ada, yang
dilakukan oleh mereka yang cenderung terhadap tatanan baru. Kedua,
adanya paradigma baru nilai-nilai, norma dan sistem penjelas yang
berbeda; dan ketiga, partisipasi sosial yang dipilih oleh mereka yang
cenderung dengan tatanan baru tersebut dalam mentransformasikan
masyarakatnya. Faktor-faktor penting tersebut dapat kita lihat dalam
sejarah Renaisance di Eropa, lahirnya Marxisme dan Sosialisme di Eropa
Timur, dan terutama sekali sejarah perjuangan nabi-nabi, serta berbagai
perubahan sosial mutakhir yang melibatkan para mahasiswa.
Sementara Huntington (1991) menjelaskan
mekanisme transisi politik dari pemerintahan ortoriter ke demokratis
dengan mengajukan empat model perubahan politik. Pertama, model
transformasi (transformation). Dalam hal ini, inisiatif demokratisasi
berasal dari pemerintah. Pemerintahlah yang melakukan liberalisasi
sistem politik. Biasanya model ini terjadi di negara yang
pemerintahannya sangat kuat, sementara masyarakat sipilnya lemah.
Transisi yang terjadi di Taiwan pada awal tahun 1990-an, ketika
pemerintah Kuomintang menyelenggarakan pemilu yang demokratis kira-kira
masuk dalam model ini. Juga proses perubahan transisi politik yang
terjadi di Spanyol dan Brazil.
Kedua, model replasi (replacement).
Model ini terjadi ketika pemerintah yang berkuasa dipaksa untuk
meletakkan kekuasaannya dan kemudian digantikan oleh kekuatan oposisi.
Berbeda dengan model pertama di atas, model ini terjadi di negara yang
pemerintahannya mulai lemah, sedangkan masyarakat sipilnya tubuh menjadi
kuat. Rejim Marcos di Filipina yang dipaksa turun oleh rakyatnya dan
kemudian digantikan oleh Cory Aquino merupakan contoh yang tepat untuk
model ini, selain Jerman Timur dan Portugal.
Ketiga, model transplasi
(transplacement). Model ini merupakan gabungan dari dua model yang sudah
disebutkan di atas. Model ini terjadi karena pemerintah yang berkuasa
masih kuat, sementara pihak oposisi belum terlalu solid untuk
menjatuhkannya. Maka diupayakanlah berbagai proses negosiasi antara
pihak pemerintah dan pihak oposisi tentang bagaimana langkah-langkah
yang harus diambil bersama untuk mewujudkan sistem politik yang
demokratis secara gradual. Lech Walesa di Polandia agaknya mempraktekkan
model ini dengan cara melakukan negosiasi dengan pihak militer untuk
mewujudkan demokratisasi. Hal yang sama terjadi di Bolivia dan
Nicaragua.
Keempat, model intervensi
(intervention). Model ini terjadi disebabkan oleh keterlibatan pihak
eksternal yang turut campur. Contoh kasus yang paling tepat barangkali
adalah intervensi angkatan perang AS terhadap pemerintahan Panama dengan
tuduhan keterlibatan jaringan perdagangan obat bius. Intervensi
akhirnya mendorong dilaksanakan pemilu yang demokratis.
Mengacu pada beberapa rumusan teoritis
di atas, maka dinamika keterlibatan mahasiswa dalam setiap momen
perubahan sosial politik sangat bervariasi, tergantung pada kondisi
obyektif yang ada. Dalam sistem politik nasional yang otoriterianistik,
seperti Indonesia pada jaman Orde Baru, gerakan mahasiswa cenderung
sulit menemukan bentuknya yang heroik. Hal ini bisa dipahami sebagai
konsekuensi dari upaya sebuah rejim otoriter untuk membungkam setiap
gerakan yang berseberangan dengan kekuasaan, termasuk gerakan mahasiswa.
Dalam kondisi yang demikian, maka yang terjadi adalah upaya pemasungan
dan pengendalian hak-hak mahasiswa. Mahasiswa kemudian diarahkan menjadi
“anak baik” yang akan mengisi kotak-kotak pembangunan, tanpa disertai
adanya kesadaran yang tepat terhadap berbagai persoalan masyarakat.
Lulusan perguruan tinggi pun hanya menjadi kacung pembangunan untuk
melegitimasikan kekuasaan otoriter yang korup. Itulah yang terjadi
selama ini.
Namun demikian, dalam logika gerakan,
kondisi yang otoriterianisktik dan korup justru menjadi faktor awal
untuk memunculkan kritik dan berbagai ketidakpuasan sosial lainnya.
Dalam perspektif yang lebih luas, ketimpangan dunia dalam wujud
kapitalisme dan imperialisme juga menjadi landasan kritik bagi gerakan
mahasiswa. Dinamika kondisi politik yang berubah dari represif menjadi
moderat terhadap oposisi, juga akan melahirkan berbagai gerakan
mahasiswa yang selama ini terpendam di bawah permukaan. Atau menurut
terminologi Huntington, dalam model replasi dan transplasi akan memberi
ruang gerak yang lebih luas bagi gerakan mahasiswa.
Selain itu, perkembangan gerakan
mahasiswa di banyak negara lain di manca negara secara langsung maupun
tidak langsung akan berpengaruh pada gerakan mahasiswa di tanah air.
Gerakan mahasiswa di Korea, Cina, Amerika Latin, dan lain sebagainya
sering menjadi referensi pembanding dalam merumuskan strategi gerakan
yang efektif bagi gerakan mahasiswa kita.
GERAKAN MORAL VERSUS GERAKAN POLITIK
Dari penjelasan di atas, kita bisa
memahami bahwa kondisi subyektif dan kondisi obyektif secara signifikan
kemudian membentuk watak gerakan mahasiswa. Secara sederhana, sebuah
gerakan merupakan suatu proses untuk mencapai perubahan jangka panjang
seperti yang dicita-citakan. Perubahan jangka panjang ini adalah
perubahan yang visioner (esoterik), yakni perubahan untuk menciptakan
tatanan masyarakat yang ideal. Dengan demikian, sebuah gerakan mahasiswa
tidak hanya membutuhkan modal berupa keberanian di tingkat praksis
(eksoterik), tetapi juga kecanggihan di tingkat wacana.
Pendekatan esoterik biasanya kita akan
memasuki wilayah substantif, berupa kajian tentang substansi gerakan dan
banyak bermain dalam dialektika wacana secara terus-menerus.
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul biasanya adalah bagaimana sebuah
orientasi perubahan dirumuskan, landasan teoritis dan ideologis apa yang
melingkupi perubahan, serta tatanan perubahan masyarakat yang bagaimana
yang diharapkan akan terwujud? Dalam konteks ini, maka kekuatan wacana
dengan visi yang jelas merupakan modal yang sangat berharga dalam
merumuskan orientasi perubahan.
Sementara pendekatan eksoterik, membuat
kita memasuki wilayah praksis gerakan. Ia akan berproses dalam persoalan
strategi gerakan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti:
bagaimana melakukan sebuah perubahan, cara apa yang diperlukan untuk
mencapai tujuan perubahan yang dimaksud? Jawaban-jawaban terhadap
pertanyaan ini tersebut tentu saja kemudian terumuskan dalam wilayah
strategis taktis sebuah gerakan.
Dari pendekatan di atas, maka kita akan
bisa melihat bahwa gerakan mahasiswa akan terpola dalam dua pola besar
yang untuk sederhananya kita bagi menjadi dua, yakni gerakan moral dan
gerakan politik. Gerakan moral (moral force) biasanya dipersepsikan
sebagai sebuah gerakan yang memihak pada nilai-nilai moral universal,
yakni nilai kebenaran, keadilan, demokratisasi, hak azasi manusia, dan
sebagainya. Sebuah gerakan moral biasanya tidak masuk dalam wilayah
kepentingan politik praktis dengan saling dukung-mendukung terhadap
kekuatan kelompok tertentu (power block). Mereka hanya mendukung
kepentingan nilai yang menurut mereka bagus. Dengan demikian, kalau
misalnya sebuah partai politik (parpol) mengedepankan nilai-nilai
keadilan, demokratisasi, HAM, dan sebagainya, maka mereka akan
mendukungnya dalam arti untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut, bukan
mendukung kekuatan parpol secara politis. Sebaliknya, kalau ternyata
parpol tersebut tidak lagi memperjuangkan nilai-nilai dengan standar
moralitas yang dimaksud, maka sebuah gerakan moral akan menarik
dukungannya, bahkan melawannya. Jadi, ringkasnya sebuah gerakan moral
adalah gerakan yang mendukung untuk memperjuangkan nilai-nilai dengan
ukuran moralitas tertentu. Disinilah independensi gerakan mahasiswa akan
terlihat. Mahasiswa bukan subordinat kekuatan politik tertentu.
Sementara gerakan politik merupakan
gerakan untuk melakukan perubahan politik dengan berpihak pada kekuatan
politik tertentu, atau menjadikan dirinya sebagai lokomotif politik
mahasiswa. Mereka tidak alergi untuk melakukan sharing dan lobi-lobi
politik dengan kekuatan politik yang ada. Bagi mereka hal ini perlu
dilakukan sebagai strategi untuk mencapai perubahan. Mereka mengkritik
gerakan moral sebagai ketakutan untuk bersentuhan dengan kepentingan
politik, dan hanya mampu melakukan himbauan moral. Keberpihakan pada
kekuatan politik tertentu secara riel tidak apa-apa, sepanjang ide-ide
perubahan yang diperjuangkan mahasiswa sejalan dengan mereka. Dalam
kondisi tertentu dan dibutuhkan, organisasi mahasiswa bahkan berubah
menjadi organisasi politik seperti yang pernah dilakukan mahasiswa
Indonesia di Belanda pada 1908 dengan mendirikan Perhimpunan Indonesia.
Sosiolog Arief Budiman bahkan mengkritik
gerakan moral dengan mengistilahkannya sebagai “koboi”. Ia datang
ketika ada kerusuhan dan kekacauan yang dilakukan oleh para penjahat di
suatu daerah. Setelah para penjahat dibasmi dan keadaan kembali tenang,
maka sang koboi pun pergi lagi mengembara kemana-mana. Demikian
seterusnya setiap ada kekacauan, sang koboi datang dan pergi lagi.
Dari kedua konteks di atas, maka
seyogiayanya gerakan mahasiswa membutuhkan pola-pola gerakan yang
bervariasi. Kecenderungan pada kutup ekstrim tertentu antara gerakan
moral dan gerakan politik justru akan mereduksi peran gerakan itu
sendiri. Karena itu, apapun penjelasannya, kedua pola tersebut tetap
dibutuhkan. Yang penting tetap mampu memberikan nuansa dalam proses
perubahan yang visioner dan esoterik. Dengan kata lain, mengutamakan
salah satu pola (gerakan politik maupun gerakan moral) akan berujung
pada kegagalan analitik untuk merumuskan strategi gerakan dalam mencapai
orientasi perubahan.
PASANG SURUT GERAKAN MAHASISWA DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP PERUBAHAN SOSIAL-POLITIK INDONESIA
Lahirnya Perhimpunan Indonesia yang
diprakarsai oleh mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda pada
tahun 1925 merupakan momentum awal dari semua gagasan dan ide tentang
sebuah gerakan perubahan kaum muda yang plural dan terorganisir secara
modern, yang bertujuan untuk membebaskan Indonesia dari cengkeraman
kolonialisme Belanda. Perhimpunan Indonesia ini merupakan perubahan nama
dan terjemahan dari nama Belandanya, yakni Indische Vereniging
(Perhimpunan Hindia), organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda yang
telah ada sejak 1908. Penggunaan kata “Indonesia” menunjukkan adanya
keinginan besar mahasiswa Indonesia waktu itu untuk melepaskan bangsa
ini dari kolonialisme Belanda.
Akira Nagazumi (1977) mencatat bahwa
dalam suatu karangan mengenai “Perhimpunan Indonesia”, Soenario,
pemimpin organisasi ini pada pertengahan tahun 1920-an, membagi sejarah
organisasi tersebut dalam lima kurun waktu, yakni:
1.1908-1913; masa berkelompok demi cita-cita dan cara untuk mencapainya, walaupun tanda-tanda patriotisme telah dapat dilihat. 2. 1913-1919; orientasi politis ke arah Indonesia merdeka lantaran pengaruh tiga orang pemimpin Indische Partij yang diasingkan dari tanah airnya. 3.1919-1923; meningkatnya semangat nasionalisme, yang mengarah ke perubahan nama. 4. 1923-1930; perubahan dari organisasi mahasiswa menjadi organisasi politik. 5.1930 dan sesudahnya; kemunduran organisasi dan pergeseran dari politik antikolonial ke anti fasis.
1.1908-1913; masa berkelompok demi cita-cita dan cara untuk mencapainya, walaupun tanda-tanda patriotisme telah dapat dilihat. 2. 1913-1919; orientasi politis ke arah Indonesia merdeka lantaran pengaruh tiga orang pemimpin Indische Partij yang diasingkan dari tanah airnya. 3.1919-1923; meningkatnya semangat nasionalisme, yang mengarah ke perubahan nama. 4. 1923-1930; perubahan dari organisasi mahasiswa menjadi organisasi politik. 5.1930 dan sesudahnya; kemunduran organisasi dan pergeseran dari politik antikolonial ke anti fasis.
Pada tahun 1900 hanya ada lima mahasiswa
Indoensia yang belajar pada pendidikan tinggi di negeri Belanda, tetapi
pada tahun 1908 jumlah mahasiswa Indonesia sudah 23 orang, dan pada
tahun inilah Indische Vereniging dibentuk (John S. Furnivall, 1939).
Walaupun dimulai dengan sederhana, organisasi ini memiliki arti dalam
dua hal. Pertama, ia membuka pintu keanggotaan untuk semua mahasiswa
dari Hindia Belanda, tidak seperti Budi Utomo yang sekalipun didirikan
pada tahun yang sama, lambat laun menjadi suatu organisasi yang
beranggotakan orang Jawa saja. Pilihan ke arah ini oleh Indische
Vereniging tidaklah kebetulan, karena pada mulanya beberapa para
pendirinya mengusulkan untuk membuat perkumpulan tersebut menjadi cabang
Budi Utomo di negeri Belanda. Tetapi, walaupun mayoritas mahasiswa
Hindia Belanda di Nederland itu orang Jawa, namun usul itu tidak
diterima oleh mereka yang berasal dari Sumatera, Minahasa, Maluku, dan
yang lainnya. Akibatnya, Indische Vereniging mampu mengatasi hambatan
etnosentrisme. Namun demikian, ternyata masih diperlukan dua dasawarsa
bagi para pemimpin nasionalis di Hindia Belanda untuk menjadi sadar akan
persatuan nasional Indonesia.
Kedua, Indische Vereniging bukan hanya
sekedar organisasi persahabatan seperti disebut oleh beberapa penulis
mengenai sejarah Indonesia modern. Pasal dua dari anggaran Dasarnya
menetapkan sebagai berikut: “memperbaiki atau meningkatkan kepentingan
bersama orang Hindia di Negeri Belanda dan memelihara hubungan dengan
Hindia Belanda”. Pada bulan Januari 1909 pengadilan lokal di kota Leiden
mempersoalkan istilah “orang Hindia” (Indier) dan Soemitro, sekretaris
organisasi pada waktu itu, harus menghadap untuk memberi penjelasan
mengapa perkataan tersebut digunakan dan bukan kata yang lazim dipakai,
yaitu “Inlander” (pribumi), walaupun dengan konotasi yang diskriminatif
(Nagazumi, 1977).
Dalam sejarah perjalanannya, Perhimpunan
Indonesia terbukti mampu mengakomodasikan semua orang Hindia secara
egaliter dan tanpa diskriminatif—berbeda dengan Budi Utomo—menjadi awal
bangkitnya semangat perlawanan mahasiswa Indonesia. Bahkan dari tahun
1923 hingga tahun 1930 organisasi ini merubah dirinya dari organisasi
mahasiswa menjadi organisasi politik, sebuah metamorfosis yang sangat
berani waktu itu. Semangat mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam
Perhimpunan Indonesia kemudian semakin mengkristal dalam berbagai
gerakan perubahan di tanah air dengan lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928,
dan kemerdekaan Indonesia tahun 1945.
Setelah Indonesia merdeka, peranan
mahasiswa mulai menonjol kembali terutama pada jaman Demokrasi
Terpimpin. Pada masa itu tiga kekuatan, yakni mahasiswa, Presiden
Sukarno dan Angkatan Darat merupakan aktor-aktor yang menentukan.
Angkatan Darat sejak mengumumkan SOB pada bulan Maret 1957, berhasil
menciptakan transformasi dan konsolidasi politik internal. Sehingga
secara politik menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Hal ini kemudian
diperkuat oleh konsepsi Jenderal Nasution tentang middle way (jalan
tengah) yang kelak menjadi konsep dwi fungsi ABRI (sekarang TNI).
Sedangkan Soekarno, sejak mengumumkan dekrit 5 Juli 1959, posisinya
semakin sentral. Partai politik yang di masa Demokrasi Parlementer
menjadi aktor dominan, pada era demokrasi terpimpin ini semakin tergeser
perannya. Soekarno kemudian berhasil menjadi faktor penyeimbang
(balance of power) antara Angkatan Darat dan kekuatan politik lain,
terutama PKI yang jelas berseberangan dengan Angkatan Darat dan
mahasiswa (Sudjana, 1995).
Peran mahasiswa pada era ini tumbuh
bersamaan dengan terbentuknya Badan Kerjasama Pemuda-Militer. Badan
inilah yang menjadi cikal bakal dan merupakan forum pertama bagi gerakan
mahasiswa untuk menjadi partisipan politik atas namanya sendiri.
Dibandingkan masa Demokrasi Parlementer peran seperti ini hampir-hampir
mustahil, karena pada saat itu posisi mahasiswa selalu berada dalam
subordinat partai politik dengan ideologi dan alirannya masing-masing.
Kemelut ekonomi dan politik pada tahun 1966 dan dibarengi dengan usaha
kudeta PKI pada tanggal 30 September 1966 (G 30 S) menyebabkan
terjadinya situasi yang chaos. Para pemimpin mahasiswa yang tergabung
dalam KAMI dan KAPPI terus menjalin kerjasama erat dengan militer,
terutama pimpinan Angkatan Darat, yang kemudian menaikkan Jenderal
Suharto dan lahirlah Orde Baru.
Semasa Orde baru berkuasa, tercatat
banyak momentum politik yang melibatkan mahasiswa. Misalnya tuntutan
mahasiswa tahun 1974 dengan peristiwa “Malari” dan tahun 1978 yang
meminta Presiden Suharto mundur. Kedua peristiwa tersebut berbuntut pada
ditangkap dan diadilinya banyak aktivis mahasiswa. Sejak itu,
pemerintahan Suharto menerapkan langkah jitu untuk membungkam setiap
gerakan mahasiswa dengan melakukan depolitisasi mahasiswa dan
mengintegrasikan kampus menjadi bagian dari birokrasi negara. Kebijakan
ini tentu saja berakibat pada penghancuran infrastruktur politik
mahasiswa. Kegiatan mahasiswa kemudian menjadi bagian dan dikontrol oleh
birokrasi kampus (Rektorat) yang merupakan kepanjangan tangan birokrasi
negara. Sejak saat itu, mahasiswa kita tidak terlibat lagi dalam
politik kampus dan nasional, bahkan cenderung merasa dirinya tidak
bermakna dalam politik. Dalam banyak hal berkembang sinisme, apatisme
dan bahkan “inertia”. Kondisi ini jelas sangat memprihatinkan.
Lebih parah lagi, kebijakan
deideologisasi partai politik, ormas dan lembaga kemahasiswaan dengan
diterapkannya azas tunggal Pancasila pada tahun 1985 membuat dinamika
gerakan mahasiswa menjadi lesu. Hal ini tidak saja dialami oleh
lembaga-lembaga mahasiswa intra kampus bentukan Orde Baru, juga dialami
oleh organisasi-organisasi ekstra kampus seperti HMI, PMII, GMNI, PMKRI,
GMKI, dan lain-lain. Dalam keadaan seperti ini, model-model gerakan
berubah total dari pola jalanan (demonstrasi) ke pola-pola yang lebih
“aman” melalui kajian-kajian intelektual. Maka muncullah banyak
kelompok-kelompok studi di kampus-kampus sebagai ajang aktualisasi akan
fenomena yang terjadi. Keadaan ini berlangsung hingga akhir tahun
1997-an
Sekitar awal tahun 1990-an, gerakan
mahasiswa menemukan bentuknya kembali di bawah represifitas negara yang
belum surut. Mungkin banyak orang mengira bahwa gerakan mahasiswa telah
mandeg, tetapi ternyata tidak. Pola-pola “aman” yang diterapkannya
dengan sekali-kali melakukan model jalanan, terutama di beberapa kota
besar, ternyata cukup menjadi investasi menghadapi perubahan politik
nasional pada akhir 1997 saat Indonesia dilanda krisis moneter. Tidak
banyak lembaga mahasiswa cukup berani dan eksis dalam gerakan tersebut.
Di Yogyakarta ada LMMY (Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta) dan SMID
(Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi). Sementara di Jakarta
ada FKMIJ (Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta.
SMID yang kemudian menjadi lembaga
tingkat nasional menggambarkan rejim Orde Baru sebagai bersifat fasis
dan totaliter, dan pada 1994 menuntut sebuah sistem multipartai
demokratis. Setelah terjadinya pembantaian dan kerusuhan di kantor pusat
PDI pada Juli 1996, banyak aktivis SMID ditahan. Sementara itu, aktivis
mahasiswa muslim, termasuk yang ada di FKMIJ, mengorganisir demonstrasi
besar-besaran menentang judi milik negara, SDSB, pada 1993.
Protes-protes keras terutama yang didasarkan pada nilai-nilai agama dan
moral, memaksa pemerintah membubarkan usaha itu. Demonstrasi anti SDSB
merupakan arak-arakan protes pertama yang mencapai istana kepresidenan
di Jakarta. Aktivis-aktivis mahasiswa muslim juga ikut ambil bagian
untuk menyatakan solidaritas terhadap Bosnia dan menentang pemberantasan
korupsi (Uhlin, 1998). Hal senada juga dilakukan mahasiswa muslim
Yogyakarta dibawah payung LMMY. LMMY dan FKMIJ merupakan institusi
kantong Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI-MPO)
yang menjadi lembaga bawah tanah selama Orde Baru berkuasa.
Menjelang akhir tahun 1997 saat
Indonesia dilanda krisis moneter dan diikuti dengan berbagai krisis
lainnya, para aktivis mahasiswa semakin memantapkan posisinya untuk
melakukan gerakan menuntut Soeharto mundur. Pada saat itu, muncul banyak
sekali elemen-elemen aksi mahasiswa yang bersifat instan dengan
mengusung warna ideologi masing-masing. Namun, satu hal yang
mempersatukan mereka adalah keinginan bersama untuk menjatuhkan rejim
totaliter Soeharto. Didukung oleh berbagai demonstrasi besar-besaran di
berbagai kota di tanah air, gerakan ini kemudian mengkristal menjadi
gerakan massa. Sayangnya, gerakan massa rakyat tersebut diwarnai dengan
berbagai kerusuhan, terutama di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya,
yang justru mencoreng citra gerakan mahasiswa itu sendiri. Walaupun
demikian, tekanan perubahan yang dahsyat pada waktu itu memaksa Soeharto
mengundurkan diri dari jabatan presiden pada 21 Mei 1998. Di sinilah
mahasiswa bersama elemen masyarakat lainnya—kecuali militer—berperan
sangat sentral dalam menggulingkan rejim Orde Baru.
Kalau pada tahun 1966 mahasiswa
bekerjasama dengan militer dalam menggulingkan Orde Lama, maka pada
tahun 1998 mahasiswa justru menjadikan militer sebagai musuh bersama
(common enemy) yang dianggap anti reformasi. Demikianlah, momentum
perubahan politik nasional pada 1998 yang terkenal dengan istilah
“gerakan reformasi” tidak serta merta membawa perubahan yang menyeluruh
dalam kehidupan masyarakat. Kekuatan anti reformasi Orde baru masih
banyak bercokol di Partai Golkar dan TNI. Dus, setelah empat tahun rejim
Soeharto dijatuhkan, kemudian berturut-turut penguasa berganti dari
Habibie, Abdurrahman Wahid, dan kini Megawati Soekarnoputri, perubahan
yang sejak awal dicita-citakan mahasiswa belum banyak memenuhi harapan.
Di sinilah peran gerakan mahasiswa era selanjutnya harus dimainkan,
yakni menuntaskan berbagai agenda reformasi yang belum berjalan.
PENUTUP
Sejak Perhimpunan Indonesia berdiri pada
1908 hingga tahun perubahan politik nasional tahun 1998, gerakan
mahasiswa Indonesia mengalami fluktuasi dan pasang surut mengikuti
situasi perubahan yang terjadi. Dalam masa-masa itu pula peran sentral
mereka dalam perubahan terlihat jelas. Walaupun demikian, ada juga
masa-masa di mana mereka tidak mampu menampilkan perannya secara
maksimal, seperti pada saat kurun waktu 1978 hingga awal 1990-an.
Disamping itu, kondisi subyektif seperti yang dijelaskan Sarlito
menunjukkan bahwa para aktivis mahasiswa adalah kelompok minoritas
kreatif yang kerap tampil sebagai penggerak utama dalam setiap momentum
gerakan.
Lantas, bagaimana gerakan mahasiswa Indonesia ke depan? Apakah mereka
akan menemukan bentuknya yang relevan, atau justru kembali pada
pengulangan sejarah dalam ketidakberdayaannya? Kalau kita melihat
kondisi ril sejak reformasi 1998, gerakan mahasiswa cenderung tidak
jelas. Keberhasilan gerakan tahun 1998 tidak serta merta memberikan
dinamika positif pada gerakan mahasiswa selanjutnya secara keseluruhan.
Ternyata, depolitisasi Orde baru masih tersimpan dalam alam bawah sadar
mahasiswa dan masyarakat kita hingga kini. Sehingga pembinaan mahasiswa
di lembaga intra kampus pun belum berubah dan beranjak maju. Dengan kata
lain, masih seperti pada jaman orla dan orba. Lemahnya proses
ideologisasi dan hanya ditopang oleh semangat euforia sesaat,
menyebabkan gerakan tahun 1998 hanya menemukan momentumnya yang
sementara, dan kemudian redup.
Walaupun demikian, dengan melihat
analisis di atas, maka tentu saja gerakan mahasiswa tidak boleh
berhenti, sebelum perubahan masyarakat seperti yang dicita-citakan
terwujud. Generasi boleh berganti, tapi semangat, cita-cita dan
idealisme gerakan tidak boleh redup.
DAFTAR PUSTAKA
Akira Nagazumi, 1977, Masa awal
Pembentukan “Perhimpunan Indonesia”: Kegiatan Mahasiswa Indonesia di
Negeri Belanda, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Anders Uhlin, 1998, Oposisi Berserak; Arus Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, Mizan, Bandung.
Arbi Sanit, 1981, Sistim Politik Indonesia, Jakarta, Penerbit CV Rajawali,
Eggi Sudjana, 1995, Transformasi Gerakan Politik Mahasiswa Indonesia, Jurnal Universal, Jakarta.
Mohtar Mas’oed, 1994, Negara, Kapital dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Sarlito W. Sarwono, 1979, Perbedaan
antara Pemimpin dan Aktivis dalam Gerakan Protes Mahasiswa: Suatu Studi
Psikologi Sosial, Prisma, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar