expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Translate

Translate

Jumat, 14 Juni 2013

Softskill pancasila bulan juni

tulisan
1. Perkembangan Pemerintah Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi
PendahuluanSecara konstitusional, peran dan kedudukan Wakil Presiden dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, baik sebelum maupun sesudah amandemen  UUD 1945, belum mendapatkan kejelasan. Setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan tidak jelasnya peran dan kedudukan Wakil Presiden.Pertama, kedudukan Wakil Presiden adalah sebagai Pembantu Presiden, sebagaimana diatur di dalam UUD 1945 Pasal 4 ayat (2). Sebagai Pembantu Presiden kedudukan Wakil Presiden menjadi setara dengan menteri yang juga sama-sama sebagai Pembantu Presiden. Wakil Presiden hanya merupakan the second man (orang kedua);
Kedua, Wakil Presiden tidak bertanggung jawab kepada Presiden, sebagaimana layaknya status menteri sebagai Pembantu Presiden yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden; dan
Ketiga, dalam tradisi dan praktik ketatanegaraan, belum pernah ada Wakil Presiden yang menyampaikan pertanggung jawaban kepada MPR atau kepada rakyat. Pertanggung jawaban selalu dibebankan kepada Presiden.Karena itu, posisi Wakil Presiden sebagai “Pembantu Presiden menjadi kurang amemiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan. Hal itu disebabkan oleh beberapa alasan: Pertama, dalam sistem pemerintahan di Indonesia sejak tahun 1945 hingga sekarang, jabatan Wakil Presiden tidak mempunyai wewenang apa-apa. Fungsinya hanya menggantikan Presiden; Kedua, dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan di Indonesia, Negara Republik Indonesia pernah tidak memiliki Wakil Presiden. Pada masa pemerintahan  Soekarno (1956-1967), Presiden berjalan sendiri menjalankan roda pemerintahan, tanpa didampingi oleh Wakil Presiden. Mohammad Hatta yang diangkat sebagai Wakil Presiden pada tanggal 18 Agustus 1945,  mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 1 Desember 1956. Sejak Mohammad Hatta mengundurkan diri, jabatan Wakil Presiden tidak pernah diisi. Demikian pula, pada masa awal pemerintahan Soeharto (1967-1973). Presiden Soeharto diangkat oleh MPRS sebagai Pejabat Presiden, tanpa ada pengangkatan Pejabat Wakil Presiden. Pada waktu Sidang Istimewa tanggal 7-12 Maret 1967 yang mengeluarkan Ketetapan MPRS Nomor; XXXIII/MPRS/1967 mengenai pencabutan kekuasaan pemerintahan Soekarno sekaligus menetapkan Jenderal Soeharto sebagai Presiden, posisi Wakil Presiden tidak disinggung. Indonesia baru kembali memiliki Wakil Presiden, setelah diangkatnya Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada tanggal 25 Maret 1973.  Pada kenyataannya, meskipun tanpa Wakil Presiden, pemerintahan dapat berjalan;  Ketiga, hubungan Wakil Presiden dengan Presiden pada setiap masa mempunyai karakter yang berbeda-beda.
Tulisan ini, akan mencoba menelaah peran Wakil Presiden RI pertama, Drs. Mohammad Hatta. Bagaimanakah sesungguhnya peran Mohammad Hatta selama menjabat sebagai Wakil Presiden? Apakah selama masa jabatannya, Wakil Presiden tidak memiliki kewenangan apapun. Atau sebaliknya, dari beberapa kebijakan politik yang diambil oleh Mohammad Hatta, justru pada masa awal pemerintahan RI, Wakil Presiden memiliki peran yang cukup penting. Dengan seiring perkembangan politik dan social Indonesia penerus bangsa ini akan menjadi lebih baik atau sebaliknya?           Pembahasan1.    A.    Masa pemerintahan orde lamaOrde Lama adalah sebutan bagi masa pemerintahan PresidenSoekarno di Indonesia.Orde Lama berlangsung dari tahun 1945 hingga1968. Dalam jangka waktu tersebut, Indonesiamenggunakan bergantian sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi komando.Di saat menggunakan sistem ekonomi liberal, Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer. Presiaden Soekarno di gulingkan waktu Indonesia menggunakan sistem ekonomi komando.Pada 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melantik Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hattasebagai Wakil Presiden dengan menggunakan konstitusi yang dirancang beberapa hari sebelumnya. Kemudian dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai parlemen sementara hingga pemilu dapat dilaksanakan. Kelompok ini mendeklarasikan pemerintahan baru pada 31 Agustus dan menghendaki Republik Indonesia yang terdiri dari 8 provinsi: Sumatra, Kalimantan (tidak termasuk wilayah Sabah, Sarawak dan Brunei), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku (termasuk Papua) dan Nusa Tenggara.Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang ditandai dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai  dengan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga terdapat peserta perorangan. Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-partai.  Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan.Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini tidak berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan politik dapat terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan “Deklarasi Bogor.”Secara umum, hubungan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden dengan Soekarno sebagai Presiden, sangat dinamis, bahkan kadang-kadang terjadi gejolak. Hatta adalah pengkritik paling tajam sekaligus sahabat hingga akhir hayat Soekarno. Dinamika hubungan Soekarno dengan Mohammad Hatta sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang berlaku pada saat itu. Moh. Mahfudz, (1998:373-375) dalamPolitik Hukum di Indonesia, secara lebih spesifik menguraikan perkembangan konfigurasi politik Indonesia ketika itu sebagai berikut:Pertama, setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, terjadi pembalikan arah dalam penampilan konfigurasi politik. Pada periode ini konfigurasi politik menjadi cenderung demokratis dan dapat diidentifikasi sebagai demokrasi liberal. Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1959, dimana Presiden Soekarno menghentikannya melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada periode ini pernah berlaku tiga  konstitusi, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950. Konfigurasi politiknya dapat diberi satu kualifikasi yang sama, yaitu konfigurasi politik yang demokratis. Indikatornya adalah begitu dominannya partai-partai politik;
Kedua, konfigurasi politik yang demokratis pada periode 1945-1959, mulai ditarik lagi ke arah yang berlawanan menjadi otoriter sejak tanggal 21 Februari 1957, ketika Presiden Soekarno melontarkan konsepnya tentang demokrasi terpimpin. Demokrasi Terpimpin merupakan pembalikan total terhadap sistem demokrasi liberal yang sangat ditentukan oleh partai-partai politik melalui free fight (Yahya Muhaimin, 1991:42, Bisnis dan Politik, Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980. Jakarta : LP3ES).
Sejak zaman pergerakan nasional, hubungan Soekarno dengan Mohammad Hatta yang seringkali disebut Dwitunggal, terjalin dengan baik. Sejak tahun 1930-an, keduanya  telah beberapa kali ditahan dan diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda, karena dianggap berbahaya bagi pemerintahan kolonial. Pada masa pendudukan Jepang, kedua tokoh ini mendapatkan pengakuan sebagai wakil-wakil rakyat Indonesia. Pada saat penyusunan naskah Proklamasi, keduanya terlibat dalam proses penyusunan naskah teks proklamasi kemerdekaan. Pada detik-detik menjelang pembacaan naskah proklamasi, Soekarno menolak desakan para pemuda untuk membacakan teks proklamasi lebih awal karena Mohammad Hatta belum datang. Ketika itu, Bung Karno berkata: “Saya tidak akan membacakan Proklamasi kemerdekaan jika Bung Hatta tidak ada. Jika mas Muwardi tidak mau menunggu Bung Hatta, silahkan baca sendiri, jawab Bung Karno kepada dr. Muwardi salah satu tokoh pemuda pada waktu itu yang mendesak segera dibacakan teks Proklamasi. Begitu percayanya Soekarno kepada Mohammad Hatta,  pada tahun 1949, ia meminta agar Mohammad Hatta selain menjadi Wakil Presiden, sekaligus juga menjadi Perdana Menteri.Mohammad Hatta selalu menekankan perlunya dasar hukum dan pemerintahan yang bertanggung jawab, karena itu Hatta tidak setuju ketika Presiden Soekarno mengangkat dirinya sendiri sebagai formatur kabinet yang tidak perlu bertanggung jawab, tidak dapat diganggu gugat, serta menggalang kekuatan-kekuatan revolusioner guna membersihkan lawan-lawan politik yang tidak setuju dengan gagasannya. Konflik ini mencapai puncaknya. Setelah pemilihan umum 1955, Presiden Soekarno mengajukan konsep Demokrasi Terpimpin pada tanggal 21 Februari 1957 di hadapan para pemimpin partai dan tokoh masyarakat di Istana Merdeka. Presiden Soekarno mengemukakan Konsepsi Presiden, yang pada pokoknya berisi:1.    Sistem Demokrasi Parlementer secara Barat, tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia, oleh karena itu harus diganti dengan Demokrasi Terpimpin.
2.    Untuk pelaksanaan Demokrasi Terpimpin perlu dibentuk suatu kabinet gotong royong yang angotanya terdiri dari semua partai dan organisasi berdasarkan perimbangan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Konsepsi Presiden ini, mengetengahkan pula perlunya pembentukan Kabinet Kaki Empat yang mengandung arti bahwa keempat partai besar, yakni PNI, Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI), turut serta di dalamnya untuk menciptakan kegotongroyongan nasional.
3.    Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri dari golongan-golongan fungsional dalam masyarakat. Dewan Nasional ini, tugas utamanya adalah memberi nasihat kepada Kabinet, baik diminta maupun tidak diminta.
Dengan konsep yang diajukan Soekarno itu, Hatta menganggap Bung Karno sudah mulai meninggalkan demokrasi dan ingin memimpin segalanya. Sebagai pejuang demokrasi, ia tidak dapat menerima perilaku Bung Karno. Padahal, rakyat telah memilih sistem demokrasi yang mensyaratkan persamaan hak dan kewajiban bagi semua warga negara dan dihormatinya supremasi hukum. Bung Karno mencoba berdiri di atas semua itu, dengan alasan rakyat perlu dipimpin dalam memahami demokrasi yang benar. Jelas, bagi Bung Hatta, ini adalah sebuah contradictio in terminis. Di satu sisi ingin mewujudkan demokrasi, sedangkan di sisi lain duduk di atas demokrasi. Pembicaraan, teguran, dan peringatan terhadap Soekarno, sahabat seperjuangannya, telah dilakukan. Tetapi Soekarno tidak berubah sikap. Sebaliknya, Hatta pun tidak menyesuaikan dirinya dengan pandangan sikap dan pendapat Soekarno.Mohammad Hatta telah mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden, sebelum Soekarno menyampaikan konsep Demokrasi Terpimpin secara resmi. Pada tanggal 1 Desember 1956, Mohammad Hatta mengirimkan surat pengunduran dirinya sebagai Wakil Presiden kepada DPR hasil Pemilihan Umum 1955. Pada tanggal 5 Februari 1957 berdasarkan Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1957, Presiden Soekarno memberhentikan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden. Namun, pengunduran diri Mohammad Hatta dari posisi Wakil Presiden tidak mengakibatkan hubungan pribadi keduanya menjadi putus. Bung Karno dan Bung Hatta tetap menjaga persahabatan yang telah mereka jalin sejak lama.Pengunduran diri ini lebih disebabkan oleh karena perbedaan pendapat dengan Presiden. Pengunduran diri Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden, tidak diikuti dengan gejolak politik. Juga tidak ada tekanan-tekanan dari pihak luar. Perbedaan pendapat antara Mohammad Hatta dengan Soekarno, lebih kepada visi dan pendekatan Mohammad Hatta  yang berbeda dengan Soekarno dalam mengelola Negara. Perbedaan itu, sesungguhnya telah terjadi sejak awal. Namun, perbedaan itu makin memuncak pada pertengahan tahun 1950-an. Soekarno menganggap revolusi belum selesai, sementara Hatta menganggap sudah selesai sehingga pembangunan ekonomi harus diprioritaskan (Adnan Buyung Nasution, Refleksi Pemikiran Hatta Tentang Hukum dan HAM, Jakarta: CIDES, 20 Juni 2002).Meskipun telah mengundurkan diri, banyak orang yang menghendaki agar Bung Hatta aktif kembali. Di dalam Musyawarah Nasional tanggal 10 September 1957, dibahas “Masalah Dwitunggal Soekarno-Hatta Demikian pula di DPR, beberapa anggota DPR mengajukan mosi mengenai “Pemulihan Kerjasama Dwitunggal Soekarno-Hatta. DPR kemudian menerima mosi mengenai Pembentukan Panitia Ad Hoc untuk mencari “bentuk kerjasama Soekarno-Hatta. Panitia itu dibentuk pada tanggal 29 November 1957 dan dikenal sebagai Panitia Sembilan?, yang diketuai oleh Ahem Erningpraja. Namun, Panitia Sembilan ini dibubarkan pada Bulan Maret 1958 tanpa menghasilkan sesuatu yang nyata (Sekretariat Negara RI, 1981: 30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964).Pada sisi lain, Mohammad Hatta adalah Wakil Presiden yang mampu menjadi satu kesatuan dengan Presiden Soekarno, sehingga seringkali disebut Dwitunggal. Pelaksanaan konsep Dwitunggal Soekarno-Hatta telah menempatkan kedudukan dan fungsi Wakil Presiden menjadi sama dengan Presiden, padahal menurut UUD 1945 kedudukan Wakil Presiden adalah sebagai Pembantu Presiden? serta dapat menggantikan Presiden jika Presiden berhalangan. Fenomena ini menjadi semakin jelas apabila diperhatikan praktik ketatanegaraan yang berlangsung antara tahun 1945 sampai tahun 1956. Pada  masa ini, Wakil Presiden banyak melakukan tindakan mengumumkan/ mengeluarkan peraturan perundang-undangan antara lain, Maklumat Wakil Presiden No.X tanggal 16 Oktober 1945; Maklumat Pemerintah tanggal 17 Oktober 1945 tentang Permakluman Perang; Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 tentang pendirian partai politik; dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya.Pada saat berlaku UUD RIS 1949 dan  UU Nomor 7 Tahun 1949 tentang Penunjukkan Pemangku Sementara Jabatan Presiden Republik Indonesia, Indonesia menganut sistem parlementer. Jika keadaan ini dihubungkan dengan persoalan Presiden berhalangan serta pengisian jabatannya untuk sementara oleh Wakil Presiden, maka tindakan yang dilakukan oleh Wakil Presiden di bidang ketatanegaraan dapat ditafsirkan sebagai suatu pengisian jabatan Presiden untuk sementara oleh Wakil Presiden. Dari sudut konsep Dwitunggal, maka tindakan Wakil Presiden merupakan perwujudan dari konsep itu.Demokrasi parlementerTidak lama setelah itu, Indonesia mengadopsi undang-undang baruyang terdiri dari sistem parlemen di mana dewan eksekutifnya dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada parlemen atau MPR. MPR terbagi kepada partai-partai politik sebelum dan sesudah pemilu pertama pada tahun 1955, sehingga koalisi pemerintah yang stabil susah dicapai.Peran Islam di Indonesia menjadi hal yang rumit. Soekarno lebih memilih negara sekuler yang berdasarkan Pancasila sementara beberapa kelompok Muslim lebih menginginkan negara Islam atau undang-undang yang berisi sebuah bagian yang menyaratkan umat Islam takluk kepada hukum Islam.Demokrasi TerpimpinPemberontakan yang gagal di Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat dan pulau-pulau lainnya yang dimulai sejak 1958, ditambah kegagalan MPR untuk mengembangkan konstitusi baru, melemahkan sistem parlemen Indonesia. Akibatnya pada 1959 ketika Presiden Soekarnosecara unilateral membangkitkan kembali konstitusi 1945 yang bersifat sementara, yang memberikan kekuatan presidensil yang besar, dia tidak menemui banyak hambatan.Dari 1959 hingga 1965, Presiden Soekarno berkuasa dalam rezim yang otoriter di bawah label “Demokrasi Terpimpin“. Dia juga menggeser kebijakan luar negeri Indonesia menuju non-blok, kebijakan yang didukung para pemimpin penting negara-negara bekas jajahan yang menolak aliansi resmi dengan Blok Barat maupun Blok Uni Soviet. Para pemimpin tersebut berkumpul di Bandung, Jawa Baratpada tahun 1955 dalam KTT Asia-Afrika untuk mendirikan fondasi yang kelak menjadi Gerakan Non-Blok.Pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, Soekarno bergerak lebih dekat kepada negara-negara komunis Asia dan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam negeri. Meski PKI merupakan partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan China, dukungan massanya tak pernah menunjukkan penurutan ideologis kepada partai komunis seperti di negara-negara lainnya.Konfrontasi Indonesia-MalaysiaSoekarno menentang pembentukan Federasi Malaysia dan menyebut bahwa hal tersebut adalah sebuah “rencana neo-kolonial” untuk mempermudah rencana komersial Inggris di wilayah tersebut. Selain itu dengan pembentukan Federasi Malaysia, hal ini dianggap akan memperluas pengaruh imperialisme negara-negara Barat di kawasan Asia dan memberikan celah kepada negara Inggris dan Australia untuk mempengaruhi perpolitikan regional Asia. Menanggapi keputusan PBB untuk mengakui kedaulatan Malaysia dan menjadikan Malaysia anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, presiden Soekarno mengumumkan pengunduran diri negara Indonesia dari keanggotaan PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mendirikan Konferensi Kekuatan Baru (CONEFO) sebagai tandingan PBB danGANEFO sebagai tandingan Olimpiade. Pada tahun itu juga konfrontasi ini kemudian mengakibatkan pertempuran antara pasukan Indonesia dan Malaysia (yang dibantu oleh Inggris).Nasib Irian BaratPada saat kemerdekaan, pemerintah Belanda mempertahankan kekuasaan terhadap belahan barat pulau Nugini (Papua), dan mengizinkan langkah-langkah menuju pemerintahan-sendiri dan pendeklarasian kemerdekaan pada 1 Desember 1961.Negosiasi dengan Belanda mengenai penggabungan wilayah tersebut dengan Indonesia gagal, dan pasukan penerjun payung Indonesia mendarat di Irian pada 18 Desember sebelum kemudian terjadi pertempuran antara pasukan Indonesia dan Belanda pada 1961 dan 1962. Pada 1962 Amerika Serikat menekan Belanda agar setuju melakukan perbincangan rahasia dengan Indonesia yang menghasilkan Perjanjian New York pada Agustus 1962, dan Indonesia mengambil alih kekuasaan terhadap Irian Jaya pada 1 Mei 1963.Gerakan 30 SeptemberHingga 1965, PKI telah menguasai banyak dari organisasi massa yang dibentuk Soekarno untuk memperkuat dukungan untuk rezimnya dan, dengan persetujuan dari Soekarno, memulai kampanye untuk membentuk “Angkatan Kelima” dengan mempersenjatai pendukungnya. Para petinggi militer menentang hal ini.Pada 30 September 1965, enam jendral senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana yang loyal kepada PKI. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto, menumpas kudeta tersebut dan berbalik melawan PKI. Soeharto lalu menggunakan situasi ini untuk mengambil alih kekuasaan. Lebih dari puluhan ribu orang-orang yang dituduh komunis kemudian dibunuh. Jumlah korban jiwa pada1966 mencapai setidaknya 500.000; yang paling parah terjadi di Jawadan Bali. 1.    B.     Masa pemerintahan orde baruOrde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung pada Juni-Juli 1966. diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah mengukuhkan Supersemar dan melarang PKI berikut ideologinya tubuh dan berkembang di Indonesia. Menyusul PKI sebagai partai terlarang, setiap orang yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI ditahan. Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian besar lainnya diasingkan ke pulau Buru.[8]  Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional dalam program politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu diawali dengan apa yang disebut dengan konsensus nasional. Ada dua macam konsensus nasional, yaitu :1.    Pertama berwujud kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini disebut juga dengan konsensus utama.2.     Sedangkan konsensus kedua adalah konsensus mengenai cara-cara melaksanakan konsensus utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus utama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara pemerintah dan partai-partai politik dan masyarakat.Setelah Kabinet Ampera terbentuk (25 Juli 1966). Menyusul tekad membangun dicanangkan UU Penanaman Modal Asing (10 Januari 1967), kemudian Penyerahan Kekuasaan Pemerintah RI dari Soekarno kepada Mandataris MPRS (12 Februari 1967), lalu disusul pelantikan Soeharto (12 Maret 1967) sebagai Pejabat Presiden sungguh merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Gerakan Pemuda Ansor.Luapan kegembiraan itu tercermin dalam Kongres VII GP Ansor di Jakarta. Ribuan utusan yang hadir seolah tak kuat membendung kegembiraan atas runtuhnya pemerintahan Orde Lama, dibubarkannya PKI dan diharamkanya komunisme, Marxisme dan Leninisme di bumi Indonesia. Bukan berarti tak ada kekecewaan, justru dalam kongres VII itulah, rasa tak puas dan kecewa terhadap perkembangan politik pasca Orla ramai diungkapkan. Seperti diungkapkan Ketua Umum GP Ansor Jahja Ubaid SH, bahwa setelah mulai rampungnya perjuangan Orde Baru, diantara partner sesama Orba telah mulai melancarkan siasat untuk mengecilkan peranan GP Ansor dalam penumpasan G-30 S/PKI dan penumbangan rezim Orde Lama. Bahwa suasana Kongres VII, dengan demikian, diliputi dengan rasa kegembiraan dan kekecewaan yang cukup mendalam.Kongres VII GP Ansor berlangsung di Jakarta, 23-28 Oktober 1967. hadir dalam kongres tersebut sejumlah utusan dari 26 wilayah (Propinsi) dan 252 Cabang (Kabupaten) se-Indonesia. Hadir pula menyampaikan amanat; Ketua MPRS Jenderal A.H.Nasution; Pejabat Presiden Jenderal Soeharto; KH. Dr Idham Chalid (Ketua PBNU); H.M.Subchan ZE (Wakil Ketua MPRS); H. Imron Rosyadi, SH (mantan Ketua Umum PP.GP Ansor) dan KH.Moh. Dachlan (Ketua Dewan Partai NU dan Menteri Agama RI)Kongres kali ini merupakan moment paling tepat untuk menjawab segala persoalan yang timbul di kalangan Ansor. Karena itu, pembahasan dalam kongres akhirnya dikelompokan menjadi tiga tema pokok: (1) penyempurnaan organisasi; (2) program perjuangan gerakan; dan (3) penegasan politik gerakan. Penegasan Politik GerakanDalam kongres ini juga merumuskan Penegasan Politik Gerakan sbb:(1) Menengaskan Orde Baru dengan beberapa persyaratan: (a). membasmi komunisme, marxisme, dan leninisme. (b) menolak kembalinya kekuasaan totaliter/Orde Lama, segala bentuk dalam manifestasinya. (c) mempertahankan kehidupan demokrasi yang murni dan (d) mempertahankan eksistensi Partijwezen;(2) Toleransi Agama dijamin oleh UUD 1945. Dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kondisi daerah serta perasaan penganut-penganut agama lain;(3) Mempertahankan politik luar negeri yang bebas aktif, anti penjajahan dan penindasaan dalam menuju perdamaian dunia.Rumusan penegasan politik tersebut tentu dilatarbelakangi kajian mendalam mengenai situasi politik yang berkembang saat itu. Kajian atau analisis itu, juga mengantisipasi perkembangan berikutnya. Memang begitulah yang dilakukan kongres. Perkara politik itu pula-lah yang paling menonjol dalam kongres VII tersebut.Itulah sebabnya, dalam kongres itu diputuskan: Bahwa GP Ansor memutuskan untuk ikut di dalamnya dalam penumpasan sisa-sisa PKI yang bermotif ideologis dan strategis. Kepada yang bermotif Politis. Ansor menghadapinya secara kritis dan korektif. Sedangkan yang bermotif terror, GP.Ansor harus menentang dan berusaha menunjukkan kepalsuannya.Atas dasar itulah, GP Ansor mendukung dan ikut di dalamnya dalam operasi penumpasan sisa-sisa PKI di Blitar dan Malang yang dikenal dengan operasi Trisula. Bahkan GP Ansor waktu itu sempat mengirim telegram ucapan selamat kepada Pangdam VIII/Brawijaya atas suksenya operasi tersebut. Ansor ikut operasi itu karena, operasi di kedua daerah tersebut bermotif ideologis dan strategis.Sesungguhnya kongres juga telah memperediksi sesuatu bentuk kekuasaan yang bakal timbul. Karena itu, sejak awal Ansor telah menegaskan sikapnya: menolak kembalinya pemerintahan tiran. Orde Baru ditafsirkan sebagai Orde Demokrasi yang bukan hanya memberi kebebasan menyatakan pendapat melalui media pers atau mimbar-mimbar ilmiah. Tapi, demokrasi diartikan sebagai suatu Doktrin Pemerintahan yang tidak mentolerir pengendapan kekuasaan totaliter di suatu tempat. Seperti kata Michael Edwards dalam buku Asian in the Balance, bahwa kecenderungan di Asia, akan masuk liang kubur dan muncul authoritarianism.Pendeknya, demokrasi pada mulanya di salah gunakan oleh pemegang kekuasaan yang korup hingga mendorong Negara ke arah Kebangkrutan. Lalu, sebelum meledak bentrokan-bentrokan sosial, kaum militer mengambil alih kekuasaan, dan dengan kekuasaan darurat itulah ditegakkan pemerintahan otoriter. Begitulah kira-kira Michael Edwards. Masalah Toleransi Agama, Selain masalah politik, kongres juga merumuskan pola kerukunan antar umat beragama. Rumusan tersebut mengacu pada UUD 1945 yang menjamin toleransi itu sendiri, dan dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kondisi daerah serta perasaan penganut agama lain.Masalah toleransi agama di bahas serius karena, pada waktu itu pertentangan agama sudah mulai memburuk. Bahkan bentrokan fisik telah terjadi di mana-mana. Akibatnya timbul isu yang mendiskreditkan Partai Islam dan Umat Islam. Isu yang paling keras pada waktu itu adalah mendirikan Negara Islam. Sehingga, di berbagai daerah ormas Islam maupun Partai Islam selalu dicurigai aparat keamanan. Dakwah-dakwah semakin di batasi bahkan ada pula yang terpaksa di larang. Terakhir, malah dikeluarkan garis kebijaksanaan di kalangan ABRI yang sangat merugikan partai Islam dan Umat Islam. Dalam Kongres VII juga menyampaikan memorandum kepada pemerintah mengenai masalah politik dan ekonomi. Dan isi dari memorandum tak lain adalah manifestasi dari komitmen terhadap ideology Pancasila.1.    C.    Masa ReformasiMundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan “Era Reformasi“.Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai “Era Pasca Orde Baru”.Berakhirnya rezim Orde Baru, telah membuka peluang guna menata kehidupan demokrasi. Reformasi politik, ekonomi dan hukum merupakan agenda yang tidak bisa ditunda. Demokrasi menuntut lebih dari sekedar pemilu. Demokrasi yang mumpuni harus dibangun melalui struktur politik dan kelembagaan demokrasi yang sehat. Namun nampaknya tuntutan reformasi politik, telah menempatkan pelaksanan pemilu menjadi agenda pertama. Pemilu pertama di masa reformasi hampir sama dengan pemilu pertama tahun 1955 diwarnai dengan kejutan dan keprihatinan. Pertama, kegagalan partai-partai Islam meraih suara siginifikan. Kedua, menurunnya perolehan suara Golkar. Ketiga, kenaikan perolehan suara PDI P. Keempat, kegagalan PAN, yang dianggap paling reformis, ternyata hanya menduduki urutan kelima. Kekalahan PAN, mengingatkan pada kekalahan yang dialami Partai Sosialis, pada pemilu 1955, diprediksi akan memperoleh suara signifikan namun lain nyatanya.Pemerintahan B.J HabibieSidang Istimewa MPR yang mengukuhkan Habibie sebagai Presiden, ditentang oleh gelombang demonstrasi dari puluhan ribu mahasiswa dan rakyat di Jakarta dan di kota-kota lain. Gelombang demonstrasi ini memuncak dalam peristiwa Tragedi Semanggi, yang menewaskan 18 orang. Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan Dana Moneter Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu, Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan kebebasan berekspresi.Presiden BJ Habibie mengambil prakarsa untuk melakukan koreksi. Sejumlah tahanan politik dilepaskan. Sri Bintang Pamungkas danMuchtar Pakpahan dibebaskan, tiga hari setelah Habibie menjabat. Tahanan politik dibebaskan secara bergelombang. Tetapi, Budiman Sudjatmiko dan beberapa petinggi Partai Rakyat Demokratik baru dibebaskan pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Setelah Habibie membebaskan tahanan politik, tahanan politik baru muncul. Sejumlah aktivis mahasiswa diadili atas tuduhan menghina pemerintah atau menghina kepala negara. Desakan meminta pertanggungjawaban militer yang terjerat pelanggaran HAM tak bisa dilangsungkan karena kuatnya proteksi politik. Bahkan, sejumlah perwira militer yang olehMahkamah Militer Jakarta telah dihukum dan dipecat karena terlibat penculikan, kini telah kembali duduk dalam jabatan struktural.Beberapa langkah perubahan diambil oleh Habibie, seperti liberalisasi parpol, pemberian kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan pencabutan UU Subversi. Walaupun begitu Habibie juga sempat tergoda meloloskan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya, namun urung dilakukan karena besarnya tekanan politik dan kejadian Tragedi Semanggi II yang menewaskan mahasiswa UI, Yun Hap. Kejadian penting dalam masa pemerintahan Habibie adalah keputusannya untuk mengizinkan Timor Timur untuk mengadakan referendum yang berakhir dengan berpisahnya wilayah tersebut dari Indonesia pada Oktober 1999. Keputusan tersebut terbukti tidak populer di mata masyarakat sehingga hingga kini pun masa pemerintahan Habibie sering dianggap sebagai salah satu masa kelam dalam sejarah Indonesia. Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dariDana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.Walaupun pengesahan hasil Pemilu 1999 sempat tertunda, secara umum proses pemilu multi partai pertama di era reformasi jauh lebih Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (Luber) serta adil dan jujur dibanding masa Orde Baru. Hampir tidak ada indikator siginifikan yang menunjukkan bahwa rakyat menolak hasil pemilu yang berlangsung dengan aman. Realitas ini menunjukkan, bahwa yang tidak mau menerima kekalahan, hanyalah mereka yang tidak siap berdemokrasi, dan ini hanya diungkapkan oleh sebagian elite politik, bukan rakyat.Pemeintahan Abdurahman Wahid.Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni 1999.PDI Perjuangan pimpinan putri Soekarno, Megawati Sukarnoputrikeluar menjadi pemenang pada pemilu parlemen dengan mendapatkan 34% dari seluruh suara; Golkar (partai Soeharto – sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya) memperoleh 22%;Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%. Pada Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil presiden untuk masa bakti 5 tahun. Wahid membentuk kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional pada awal November 1999 dan melakukan reshufflekabinetnya pada Agustus 2000.Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi dan perkembangan ekonomi di bawah situasi yang menantang. Di samping ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi konflik antar etnis dan antar agama, terutama di Aceh, Maluku, dan Papua. Di Timor Barat, masalah yang ditimbulkan rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal dan kekacauan yang dilakukan para militan Timor Timur pro-Indonesia mengakibatkan masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR yang semakin memberikan tekanan menantang kebijakan-kebijakan Presiden Wahid, menyebabkan perdebatan politik yang meluap-luap.Pemerintahan Megawati soekarno putriPada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari2001, ribuan demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak lama kemudian. Pemerintahan Susilo Bambang YudoyonoPemilu 2004, merupakan pemilu kedua dengan dua agenda, pertama memilih anggota legislatif dan kedua memilih presiden. Untuk agenda pertama terjadi kejutan, yakni naiknya kembali suara Golkar, turunan perolehan suara PDI-P, tidak beranjaknya perolehan yang signifikan partai Islam dan munculnya Partai Demokrat yang melewati PAN. Dalam pemilihan presiden yang diikuti lima kandidat (Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarno Putri, Wiranto, Amin Rais dan Hamzah Haz), berlangsung dalam dua putaran, telah menempatkan pasangan SBY dan JK, dengan meraih 60,95 persen.Susilo Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal masa kerjanya telah menerima berbagai cobaan dan tantangan besar, seperti gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang meluluh lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa bumi lain pada awal 2005 yang mengguncang Sumatra.Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang bertujuan mengakhiri konflik berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah Aceh. Atas prestasi SBY yang di tanam sejak tahun 2004 telah mengantar beliau naik kembali duduk di kursi presiden dengan pasanganya pak Budiono pada pemilu tahun 2009, kinerja mereka pun belum dapat dirasakan dengan maksimal.       PenutupSistem presidensial tidak mengenal adanya lembaga pemegang supremasi tertinggi. Kedaulatan negara dipisahkan (separation of power) menjadi tiga cabang kekuasaan, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang secara ideal diformulasikan sebagai ”Trias Politica” oleh Montesquieu. Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa kerja yang lamanya ditentukan konstitusi. Konsentrasi kekuasaan ada pada presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Dalam sistem presidensial para menteri adalah pembantu presiden yang diangkat dan bertanggung jawab kepada presiden.  Bentuk MPR sebagai majelis permusyawaratan-perwakilan dipandang lebih sesuai dengan corak hidup kekeluargaan bangsa Indonesia dan lebih menjamin pelaksanaan demokrasi politik dan ekonomi untuk terciptanya keadilan sosial,dan sebagai ciri demokrasi Indonesia. Dalam struktur pemerintahan negara, MPR berkedudukan sebagai supreme power dan penyelenggara negara yang tertinggi. Presiden menjalankan tugas MPR sebagai kekuasaan eksekutif tertinggi, sebagai mandataris MPR. Sebagai penjelmaan rakyat dan merupakan pemegang supremasi kedaulatan, MPR adalah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi, “pemegang” kekuasaan eksekutif dan legislatif. DPR adalah bagian MPR yang menjalankan kekuasaan legislatif, sedangkan presiden adalah mandataris yang bertugas menjalankan kekuasaan eksekutif. Bersama-sama, DPR dan presiden menyusun undang-undang. DPR dan presiden tidak dapat saling menjatuhkan seperti pada sistem parlementer maupun presidensial. Sistem presidensial dipandang mampu menciptakan pemerintahan negara berasaskan  kekeluargaan dengan stabilitas dan efektifitas yang tinggi. Sehingga para anggota legislatif bisa lebih independent dalam membuat UU karena tidak khawatir dengan jatuh bangunnya pemerintahan.Sistem presidensial mempunyai kelebihan dalam stabilitas pemerintahan, demokrasi yang lebih besar dan pemerintahan yang lebih terbatas. Adapun kekurangannya, kemandekan (deadlock) eksekutif-legislatif, kekakuan temporal, dan pemerintahan yang lebih eksklusif. Secara konstitusional, DPR mempunyai peranan untuk menyusun APBN, mengontrol jalannya pemerintahan, membuat undang-undang dan peranan lain seperti penetapan pejabat dan duta. Presiden tak lagi bertanggung jawab pada DPR karena ia dipilih langsung oleh rakyat. DPR tak akan mudah melakukan impeachment lagi karena ada MK.2. ANALISIS KELEBIHAN DAN KELEMAHAN PEMILUKADA SERTA MASA DEPAN PEMILUKADA DI INDONESIA
 BAB IPENDAHULUAN A.           LATAR BELAKANG MASALAHSebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, wilayah kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi  dibagi lagi atas daerah kabupaten dan kota, yang masing-masing sebagai daerah otonomi. Sebagai daerah otonomi, daerah provinsi, kabupaten/kota memiliki pemerintahan daerah yang melaksanakan, fungsi-fungsi pemerintahan daerah, yakni Pemerintahan Daerah dan DPRD.  Kepala Daerah adalah Kepala Pemerintahan Daerah baik didaerah provinsi, maupun kabupaten/kota yang merupakan lembaga eksekutif di daerah, sedangkan DPRD, merupakan lembaga legislatif di daerah baik di provinsi, maupun kabupaten/kota. Kedua-duanya dinyatakan sebagai unsur penyelenggaraan  pemerintahan di  daerah (Pasal 40 UU No. 32/2004) .Sejalan dengan semangat desentralisasi, sejak tahun 2005 Pemilu Kepala Daerah dilaksanakan secara langsung (Pemilukada/Pilkada). Semangat dilaksanakannya pilkada adalah koreksi terhadap system demokrasi tidak langsung (perwakilan) di era sebelumnya, dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD, menjadi demokrasi  yang berakar langsung pada pilihan rakyat (pemilih). Melalui pilkada, masyarakat sebagai pemilih berhak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara, dalam memilih kepala daerah.Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah diterapkan prinsip demokrasi. Sesuai dengan pasal 18 ayat 4 UUD 1945, kepala daerah dipilih secara demokratis. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, diatur mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat, yang diajukan oleh partai politik atau gabungan parpol. Sedangkan didalam perubahan UU No. 32 Tahun 2004, yakni UU No.12 Tahun 2008, Pasal 59 ayat 1b, calon kepala daerah dapat juga diajukan dari calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Secara ideal tujuan dari dilakukannya pilkada adalah untuk mempercepat konsolidasi demokrasi di Republik ini. Selain itu juga untuk mempercepat terjadinyagood governance karena rakyat bisa terlibat langsung dalam proses pembuatan kebijakan. Hal ini merupakan salah satu bukti dari telah berjalannya program desentralisasi.  Daerah telah memiliki otonomi untuk mengatur dirinya sendiri , bahkan otonomi ini telah sampai pada taraf otonomi individu.Selain semangat tersebut, sejumlah argumentasi dan asumsi yang memperkuat pentingnya pilkada adalah: Pertama, dengan Pilkada dimungkinkan untuk mendapatkan kepala daerah yang memiliki kualitas dan akuntabilitas. Kedua, Pilkada perlu dilakukan untuk menciptakan stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan di tingkat lokal. Ketiga, dengan Pilkada terbuka kemungkinan untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan nasional karena makin terbuka peluang bagi munculnya pemimpin-pemimpin nasional yang berasal dari bawah dan/atau daerah.Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004, mengenai Pilkada yang dipilih langsung oleh rakyat, telah banyak menimbulkan persoalan, diantaranya waktu yang sangat panjang, sehingga sangat menguras  tenaga dan pikiran, belum lagi biaya yang begitu besar, baik dari segi politik (issue perpecahan internal parpol, issue tentang money politik, issue kecurangan dalam bentuk penggelembungan suara yang melibatkan instansi resmi), sosial (issue tentang disintegrasi social walaupun sementara, black campaign dll.)  maupun finansial.  Hal ini  kita lihat pada waktu pemilihan kepala daerah di sejumlah daerah seperti di Sulawesi Selatan dan Jawa Timur. Di Sulsel, pemilihan gubernur langsung diselenggarakan sebanyak dua putaran karena ketidakpuasan salah satu calon atas hasil penghitungan suara akhir.Masalah pemenangan Pilkada  mengandung latar belakang multidimensional.  Ada yang bermotif  harga diri pribadi (adu popularitas); Ada pula yang bermotif mengejar kekuasaan dan kehormatan; Terkait juga  kehormatan Parpol pengusung; Harga diri Ketua Partai Daerah yang sering memaksakan diri untuk maju. Di samping tentu saja ada yang mempunyai niat luhur untuk memajukan daerah, sebagai putra daerah. Dalam kerangka motif kekuasaan bisa difahami, karena “politics is the struggle over allocation of values in society” (Politik merupakan perjuangan untuk memperoleh alokasi kekuasan di dalam masyarakat).  Pemenangan perjuangan politik seperti pemilu legislative atau pilkada eksekutif sangat penting untuk mendominasi fungsi-fungsi legislasi, pengawasan budget dan kebijakan  dalam proses pemerintahan (the process of government).  Dalam kerangka ini cara-cara “lobbying, pressure, threat, batgaining and compromise”  seringkali terkandung di dalamnya.Namun dalam Undang-undang tentang Partai Poltik  UU No. 2/2008, yang telah dirubah dengan UU No. 2 Tahun 2011, selalu dimunculkan persoalan budaya dan etika politik. Masalah lainnya sistem perekrutan calon KDH (Bupati, Wali kota, Gubernur) bersifat transaksional, dan hanya orang-orang yang mempunyai modal financial besar, serta popularitas tinggi, yang dilirik oleh partai politik, serta beban biaya yang sangat besar untuk memenangkan pilkada/pemilukada, akibatnya tidak dapat dielakan maraknya korupsi di daerah, untuk mengembalikan modal politik sang calon,serta banyak Perda-Perda yang bermasalah,dan memberatkan masyarakat dan iklim investasi. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka disusunlah sebuah makalah yang berjudul, “ANALISIS KELEBIHAN DAN KELEMAHAN PEMILUKADA SERTA MASA DEPAN PEMILUKADA DI DI INDONESIA”. Makalah ini disusun bertujuan untuk menganalisis kelebihan dan kelemahan pelaksaanan Pemilikada, serta menganalisis masa depa pelaksanaan Pemilukada secara langsung di Indonesia. B.            PERUMUSAN MASALAHBerdasarkan latar belakang diatas, maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut :1.    Apa saja kelebihan pelakasanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) secara langsung di Indonesia ?2.    Apa saja kelemahan pelakasanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) secara langsung di Indonesia ?3.    Bagaimana masa depan pelakasanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) secara langsung di Indonesia ?C.           TUJUAN PENULISANBerdasarkan perumusan masalah tersebut, maka penulisan makalah ini bertujuan untuk :1.    Menganalisis kelebihan pelakasanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) secara langsung di Indonesia.2.    Menganalisis kelemahan pelakasanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) secara langsung di Indonesia.3.    Menganalisis masa depan pelakasanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) secara langsung di Indonesia. D.           MANFAAT PENULISAN1.    Bagi PenulisPenulisan makalah yang berjudul, “ANALISIS KELEBIHAN DAN KELEMAHAN PEMILUKADA SERTA MASA DEPAN PEMILUKADA DI DI INDONESIA”, disusun sebagai salah satu pemenuhan Tugas UKD 4 Pemerintahan daerah dan Desa/ Semester 5 (lima) Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Surakarta yang diampu oleh Rima Vien, PH, SH, MH.2.    Bagi PembacaMakalah ini diharapkan dapat menambah referensi pustaka bagi pembaca dalam mengkaji permasalah Pemerintahan Daerah dan Desa berkaitan dengan pelaksanan pemilihan umum kepala daerah (Pemiluka) secara langsung, khususnya kelebihan dan kelemahan, serta masa depan Pemilukada di Indonesia.      BAB IIPEMBAHASAN A.           KAJIAN PUSTAKAPelaksanaan pemilu kepala daerah atau disingkat pemilukada langsung tentunya tidak lepas dari adanya terobosan politik dalam pemberian otonomi kepada daerah berdasarkan UU No. 32 tahun 2004. Pemberian otonomi ini memiliki korelasi perspektif dengan teori-teori dasar tentang desentralisasi dan politik lokal.Desentralisasi secara umum dapat dilihat dalam dua perspektif yaitu administratif dan politik. Berdasarkan perspektif administratif, desentralisasi didefinisikan sebagai the transfer of administrative responsibilitiy from central to local government (Romli, 2005). Artinya dalam perspektif otonomi daerah yang berlaku di Indonesia, desentralisasi administratif ini diartikan sebagai pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Sedangkan perspektif politik, Smith mengatakan desentralisasi sebagai the transfer of power, from top levelto lower level, in a territorial hierarchy, which could be one of goverments within a state, or office within a large organization. Dalam pandangan yang lain Mawhood mengatakan bahwa desentralisasi politik adalah devolution of power from central government to local government. Mawhood juga meletakkan konteks desentralisasi politik sebagai esensi dasar otonomi bagi daerah yaitu a freedom which is assumed by local government in both making and implementing its own decision (Prasojo et all, 2006).[1]Dalam konteks negara kesatuan, otonomi yang diberikan oleh daerah bukanlah suatu bentuk kebebasan yang bersifat asli, melainkan merupakan pemberian dari pemerintah pusat. Konteks pemberian otonomi oleh pemerintah pusat ini sangat terkait dengan kontruksi bentuk Negara dan pembagian kekuasaan yang ada di dalamnya.Secara teoritis dalam perspektif praktek ketatanegaraan yang ada, terdapat dua macam bentuk negara dalam kaitannya dengan pembagian kekuasaan secara vertikal, yaitu negara kesatuan dan negara federal. Kedua bentuk negara ini dapat dibedakan satu sama lain berdasarkan kepada dimensi: (1) Karakter dasar yang dimiliki oleh struktur pemerintahan regional/lokalnya, (2) Proses pembentukan struktur pemerintahan regionalnya, (3) Sifat hubungan antara struktur pusat dan struktur regional, (4) Keberadaan Konstitusi, dan (4) Derajat kemandirian yang dimiliki oleh struktur regional (Prasojo et. All, 2006). 1Dalam pembahasan ini, hanya akan dijabarkan tiga dimensi pembeda saja melihat konteksnya yang berhubungan erat dengan desentralisasi politik. Dalam dimensi karakter dasar pemerintah, pemerintah daerah dalam negara kesatuan tidak memiliki karakter soverenitas (kedaulatan), sedangkan negara bagian dalam negara federal merupakan struktur asli yang memiliki karakter kedaulatan. Kusnardi dan Ibrahim (1988) menyebutkan bahwa negara federal, negara-negara bagian mempunyai wewenang untuk membuat undang-undang dasarnya sendiri dan dapat menentukan organisasinya masingmasing dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan konstitusi dari negara federal seluruhnya. Sedangkan dalam negara kesatuan, organisasi dan kewenangan membuat undang-undang ditentukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan pelaksana kebijakan pemerintah pusat dalam sistem desentralisasi.Dalam dimensi proses pembentukan struktur pemerintahan, pemerintahan daerah di Negara kesatuan dibentuk oleh pemerintah pusat melalui undang-undang, dan dapat dimekarkan, diciutkan dan atau dibubarkan kembali melalui undang-undang. Pemerintahan daerah di Negara kesatuan adalah bentukan pusat. Sebaliknya, di negara federal, pemerintahan negara bagian merupakan struktur asli yang telah ada sebelum struktur federal terbentuk. Bahkan pembentukan struktur federal merupakan kesepakatan yang terjadi antara negara-negara bagian. Dapat dikatakan bahwa struktur federal di dalam negara federal dibentuk oleh negaranegara bagian melalui konstitusi (Prasojo et. All, 2006). 1Dalam dimensi hubungan antara struktur pemerintahan, sifat hubungan antara struktur pusat dan struktur regional/daerah dalam negara kesatuan adalah subordinatif sedangkan dalam negara federal bersifat koordinatif. Subordinatif dalam pengertian bahwa pemerintahan daerah adalah bentukan dan bawahan dari pemerintahan pusat. Sedangkan sifat koordinatif antara struktur negara bagian dan struktur federal dalam negara federal menunjukkan kedudukan yang sama. Oleh karena pemerintahan daerah dalam negara kesatuan dibentuk oleh pemerintah pusat dan menjadi subordinasi, maka derajat kemandirian sebagai yang dimiliki oleh pemerintahan daerah sangat terbatas. Bila pemerintah pusat menghendaki penarikan kewenangan yang sudah diserahkan kepada satu pemerintahan daerah, maka hal tersebut dapat dengan mudah dilakukan. Sebaliknya derajat kemandirian negara bagian dalam negara federal dapat dikatakan sangat besar, karena kedudukannya dijamin dalam konstitusi. Dalam konteks pembagian wewenang, dalam negara federal, wewenang pembuat undang-undang pemerintah federal ditentukan secara rinci, sedangkan wewenang lainnya ada pada negara-negara bagiannya. Pada negara kesatuan, wewenang terperinci ada pada pemerintah daerah, sedangkan kewenangan sisanya (residual power) ada pada pemerintah pusat (Kusnardi dan Ibrahim,1988).[2]Pelaksanaan pemilukada langsung yang saat ini ada merupakan bentuk penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah untuk memilih secara langsung kepala daerahnya,sehingga konteks aturan yang berlaku dalam pilkada merupakan jabaran atau turunan dari aturan yang berlaku dalam ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Dalam perspektif desentralisasi politik, dengan adanya pilkada maka kekuasaan tidak lagi terkonsentrasikan pada pemerintah pusat, tetapi dapat didistribusikan kepada daerah-daerah. Dengan demikian, daerah memiliki posisi yang jauh lebih kuat untuk mengatur dan menentukan urusan rumah tangganya sendiri sesuai kewenangan yang dimilikinya.Dalam perspektif ini pula, maka menjadi hal wajar apabila pemberikan desentralisasi politik dan pelaksanaan pilkada ini berada dalam ranah pemerintahan daerah, karena konteks sistemik dari pemberian kekuasaan kepada daerah untuk memiliki pemimpin daerah sendiri secara langsung merupakan pemberian dari pemerintah pusat. Selain itu pula dalam konteks bingkai negara kesatuan yang dipilih menjadi bentuk negara berdasarkan konstitusi ini harus tetap menjaga keterpautan yang kuat antara hubungan pusat dan daerah. Mengingat pergolakan arus gerakan antara putaran sentrifugal dan sentripetal yang menarik hubungan daerah ke dalam lingkaran pusat dan sebaliknya, harus dijaga dinamisasinya agar tidak saling tertarik terlalu dalam antara salah satu arus tersebut.Pimilukada lokal adalah implikasi dari desentralisasi yang dijalankan di daerah-daerah sebagai perwujudan dari proses demokrasi di Indonesia. Konsepnya mengandaikan pemerintahan itu dari, oleh dan untuk rakyat. Hal paling mendasar dalam demokrasi adalah keikutsertaan rakyat, serta kesepakatan bersama atau konsensus untuk mencapai tujuan yang dirumuskan bersama. Perkembangan desentralisasi menuntut adanya proses demokrasi bukan hanya di tingkat regional tetapi di tingkat lokal.Pilkada di Indonesia pasca Orde Baru hampir selalu dibicarakan secara berkaitan dengan pembentukan sistem politik yang mencerminkan prinsip keterwakilan, partisipasi, dan kontrol. Oleh karenanya, pemerintahan yang demokratis mengandaikan pemisahan kekuasaan dalam tiga wilayah institusi yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Suatu pemerintahan dikatakan demokratis jika terdapat indikator utama yaitu keterwakilan, partisipasi dan kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan oleh ketiga institusi tersebut. Prinsip partisipasi menjamin aspek keikutsertaan rakyat dalam proses perencanaan pembangunan daerah; atau keikutsertaan rakyat dalam proses pemilihan wakil dalam lembaga politik; sedangkan prinsip kontrol menekankan pada aspek akuntabilitas pemerintahan. Dalam demokrasi, aspek kelembagaan merupakan keutamaan dari berlangsungnya praktik politik yang demokratis, sehingga, terdapat partai politik, pemilihan umum dan pers bebas. Sedangkan, istilah ‘ lokal’ mengacu kepada ‘arena’ tempat praktek demokrasi itu berlangsung.Di Indonesia, saat ini pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah administratif setempat yang memenuhi syarat. Pemilihan kepala daerah dilakukan satu paket bersama dengan wakil kepala daerah. Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dimaksud mencakup: Gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi; Bupati dan wakil bupati untuk kabupaten; Wali kota dan wakil wali kota untuk kota.[3] Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.[4]Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentangPemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada. Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005.Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan umumKepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada. Pemilihan kepala daerah pertama yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007.Pada tahun 2011, terbit undang-undang baru mengenai penyelenggara pemilihan umum yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011. Di dalam undang-undang ini, istilah yang digunakan adalah  Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.[5]PenyelenggaraPilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota. Khusus di Aceh, Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Aceh (Panwaslih Aceh).PesertaBerdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Undang-undang ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Khusus di Aceh, peserta Pilkada juga dapat diusulkan oleh partai politik lokal B.            PEMBAHASAN1.    Analisis Kelebihan PemilukadaBanyak permasalahan baik dari implikasi politik maupun dampak sosial ekonomi baik yang menguntungkan maupun tidak. Ada beberapa keunggulan pilkada dengan model pemilihan secara langsung.[6]Pertama, pilkada secara langsung memungkinkan proses yang lebih Partisipasi. Partisipasi jelas akan membuka akses dan kontrol masyarakat yang lebih kuat sebagai aktor yang telibat dalam pilkada dalam arti partisipasi secara langsung merupakan prakondisi untuk mewujudkan kedaulatan ditangan rakyat dalam konteks politik dan pemerintahan.
Kedua, proses pilkada secara langsung memberikan ruang dan pilihan yang terbuka bagi masyarakat untuk menentukan calon pemimpin yang memiliki kapasitas, dan komitmen yang kuat serta legitimate dimata masyarakat sehingga pemimpin yang baru tersebut dapat membuahkan keputusan-keputusan yang lebih baik dengan dukungan dan kepercayaan dari masyarakat luas dan juga diharapkan akan terjadinya rasa tanggung jawab secara timbal balik. Sang kepala daerah lebih merasa mendapatkan dukungan dari masyarakat, sehingga kebijakan-kebijakan tentu saja lebih berpihak pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat. pada saat yang sama, rakyat juga akan lebih mendukung kebijakan-kebijakan kepala daerah sebab mereka telah berperan secara langsung dalam pengangkatan kepala daerah.
Ketiga, mendekatkan elit politik dengan konstituen atau masyarakat. Diharapkan dengan pemilihan seperti ini mayarakat akan lebih mengenal pemimpin mereka di daerah sehingga akan memudahkan proses komunikasi politik di daerah.[7]Keempat, lebih terdesenralisasi. Berbeda dengan pemilihan kepala daerah sebelumnya, pemilihan kepala daerah dilakukan pemerintah pusat dengan cara menunjuk atau menetapkan aktor politik untuk menempati jabatan politik di daerah.7Kelebihan diadakannya pilkada langsung adalah kepala daerah terpilih akan memiliki mandat dan legitimasi yang samngat kuat, kepala daerah terpilih tidak perlu terikat pada konsesi partai-partai atau faksi-faksi politik yang telah mencalonkannya, sistem pilkada langsung lebih akuntabel karena adanya akuntabilitas politik, Check and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif dapat lebih berjalan seimbang, kriteria calon kepala daerah dapat dinilai secara langsung oleh rakyat yang akan memberikan suaranya, pilkada langsung sebagai wadah pendidikan politik rakyat, kancah pelatihan dan pengembangan demokrasi, pilkada langsung sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan, membangun stabilitas poilitik dan mencegah separatisme, kesetaraan politik dan mencegah konsentrasi di pusat.Beberapa kelebihan dalam penyelenggaraan pilkada langsung antara lain sebagai berikut :a.    Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepala desa selama ini telah dilakukan secara langsung.b.    Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti telah diamanatkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati dan Wali Kota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU No 32 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.c.    Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat. Ia menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya.d.   Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam pilkada langsung 2005, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan.e.    Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional amat terbatas. Dari jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta, jumlah pemimpin nasional yang kita miliki hanya beberapa. Mereka sebagian besar para pemimpin partai politik besar yang memenangi Pemilu 2004. Karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari pilkada langsung ini. 2.    Analisis Kelemahan PemilukadaMenurut Leo Agustino ada sebelas (11) permasalahan pemilukada di Indonesia[8], yaitu :a.    Daftar Pemilih tidak akuratPermasalahan daftar pemilih yang tidak akurat dalam Pilkada, sering dijadikan oleh  para pasangan calon yang kalah untuk melakukan gugatan. Berdasar Pasal 47 UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu menyebutkan bahwa PPS mempunyai tugas dan wewenang antara lain mengangkat petugas pemutakhiran data pemilih dan membantu KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK melakukan pemutakhiran data pemilih, daftar pemilih sementara, daftar pemilih hasil perbaikan, dan daftar pemilih tetap. Melalui pengaturan ini jika dalam pemutakhiran data pemilih, melibatkan RT/RW sebagai petugas pemutakhiran, maka permasalahan data pemilih yang tidak akurat akan dapat diminimalisir, karena RT/RW adalah lembaga yang paling mengetahui penduduknya.b.    Persyaratan Calon tidak lengkapProses pencalonan yang bermasalah Permasalahan dalam pencalonan yang selama ini terjadi disebabkan oleh 2 (dua) hal yaitu konflik internal partai politik/gabungan partai politik dan  keberpihakan para anggota KPUD dalam menentukan pasangan calon yang akan mengikuti Pilkada. Secara yuridis pengaturan mengenai pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diatur dalam pasal 59 sampai dengan pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dari beberapa pasal tersebut memberikan kewenangan yang sangat besar kepada KPUD dalam menerima pendaftaran, meneliti keabsahan persyaratan pencalonan dan menetapkan pasangan calon, yang walaupun ada ruang bagi partai politik atau pasangan calon untuk memperbaiki kekurangan dalam persyaratan adminitrasi, namun dalam praktek beberapa kali terjadi pada saat penetapan pasangan calon yang dirugikan. Pasal   59  ayat  (5)   huruf a   Undang-Undang   Nomor  32  Tahun   2004 menyatakan  bahwa  partai politik atau gabungan partai  politik    pada saat mendaftarkan pasangan calon, wajib   menyerahkan   surat pencalonan   yang ditandatangani oleh   pimpinan partai politik atau pimpinan partai politik yang bergabung. Dalam tahapan ini kadang terjadi permasalahan di internal partai politik, ketika calon yang diajukan oleh pimpinan partai politik setempat berbeda dengan calon yang direkomendasikan  oleh  DPP  partai  politik.   Dalam  permasalahan  ini  karena pimpinan partai politik setempat tidak melaksanakan rekomendasi DPP partai politik, kemudian diberhentikan sebagai pimpinan partai politik di wilayahnya dan menunjuk pelaksana tugas pimpinan partai politik sesuai wilayahnya yang kemudian juga meneruskan rekomendasi calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala  Daerah namun ditolak KPUD dengan alasan partai politik tersebut melalui pimpinan wilayahnya yang lama telah mengajukan pasangan calon. Pasal 61 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan   bahwa penetapan dan pengumuman   pasangan calon oleh KPUD bersifat final dan mengikat. Dalam hal KPUD tidak netral, ketentuan ini kadang disalahgunakan untuk   menggugurkan   pasangan   calon   tertentu   tanpa   dapat   melakukan pembelaan, karena tidak ada ruang bagi pasangan calon yang dirugikan untuk melakukan pengujian atas tindakan KPUD yang tidak netral melalui pengadilan. Untuk mengatasi kekurangan ini, ke depan perlu pasangan calon perlu diberi ruang untuk mengajukan keberatan ke pengadilan, jika dalam proses pencalonan dirugikan KPUD.c.    Pencalonan Pasangan dari parpolPermasalahan internal parpol dalam menentukan pasangan calon membuat Pilkada terhambat. Hal itu disebabkan, adanya kepengurusan ganda, proses seleksi tidak transparan, adanya intervensi pengurus pusat/provinsi, tidak menetapkan pasangan seperti kasus di Sampang, Jatim.d.   Penyelenggara atau KPUD tidak netralFaktor yang mempengaruhi ketidaknetralan KPUD berdasarkan faktor kedekatan dan kekerabatan degan salah satu pasangan. Selain itu, tidak adanya pengadilan yang mengkoreksi keputusan KPUD sehingga sangat dominan kekeuasaan penyelenggara pemilikada.e.    Panwas pilkada dibentuk terlambatTerlambatnya panitia pengawas (Panwas) oleh DPRD, sehinggat tidak dapat mengawasi tahapan pemilukada secara keseluruhan. Berbagai penyimpangan pada persiapan sering tidak dilanjuti, karena Panwas dibentuk menjelang masa kampanye.f.     Money politikSepertinya money politik ini selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan pilkada.Dengan memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah, maka dengan mudah mereka dapat diperalat dengan mudah. Contoh yang nyata saja yaitu di lingkungan desa Karangwetan, Tegaltirto, Berbah, Sleman, juga terjadi hal tersebut. Yaitu salah satu dari kader bakal calon membagi bagikan uang kapada masyarakat dengan syarat harus memilih bakal calon tertentu. Tapi memang dengan uang dapat membeli segalanya. Dengan masih rendahnya tingkat pendidikan seseorang maka dengan mudah orang itu dapat diperalat dan diatur dengan mudah hanya karena uang. Jadi sangat rasional sekali jika untuk menjadi calon kepala daerah harus mempunyai uang yang banyak. Karena untuk biayaini, biaya itu.g.    Dana kampayeSumber dana pasangan sering tidak transparan. Hasil audit dana kampanye baik perorangan atau perusahan sering tidak diumumkan ke publik. Hal itu menimbulkan kecurigaan publik, bahwa dana kampanye pasangan berasal dari dana korupsi atau sumbangan yang dikemudian hari pasangan tersebut, maka pemberi sumbangan akan menadpat imbalan berupa jabatan atau proyek-proyek pemerintah.h.    Mencuri start kampayeTindakan ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat jelas aturan-aturan yang berlaku dalam pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran. Sering juga untuk bakal calon yang merupakan kepala daerah saat itu melakukan kunjungan keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi ketika mendekati pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika sedang memimpin dulu. Selain itu media TV lokal sering digunakan sebagi media kampanye. Bakal calon menyampaikan visi misinya dalam acara tersebut padahal jadwal pelaksanaan kampanye belum dimulai.i.      PNS tidak netralDalam berbagai kampanye masih ditemukan PNS yang memihak pasangan tertentu, terutam incumbent(petahana). Dilain pihak calon incumbent memanfaatkan staf Pemda untuk kepentingan kampanyenya, bila tidak menuruti akan diturunkan jabatanya atau bahkan diberhentikan.j.      Pelanggaran kampanyePelanggaran kampanye dapat berbagai macam bentuk, salah satu yang menjadi sorotan yaitu kampanye hitam seperti yang menimpa Jokowi Pada pemilukada Jakarta 2012. Kampanye negatif ini dapat timbul karena kurangnya sosialisasi bakal calon kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan sebagian masyarakat masih kurang terhadap pentingnya informasi. Jadi mereka hanya “manut” dengan orang yang di sekitar mereka yang menjadi panutannya. Kampanye negatif ini dapat mengarah pada munculnya fitnah yang dapat merusak integritas daerah tersebutPengaturan mengenai kampanye secara yuridis diatur dalam pasal 75 sampai dengan pasal 85 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu meliputi pengaturan mengenai teknis kampanye, waktu pelaksanaan, pelaksana kampanye, jadwal kampanye, bentuk dan media kampanye, dan larangan-larangan selama pelaksanaan kampanye. Kandidat dan tim kampanyenya cenderung mencari celah pelanggaran yang menguntungkan dirinya.Pasal 75 ayat (2) berbunyi dimaksud pada ayat (1) dilakukan selama 14 (empat belas) hari dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara", dengan terbatasnya waktu untuk kampanye maka sering terjadi curi start kampanye dan kampanye diluar waktu yang telah ditetapkan. Kampanye yang diharapkan dapat mendorong dan memperkuat pengenalan pemilih terhadap calon kepala daerah agar pemilih mendapatkan informasi yang lengkap tentang semua calon, menjadi tidak tercapai. Untuk itu ke depan perlu pengaturan masa kampanye yang cukup dan peningkatan kualitas kampanye agar dapat mendidik pemilih untuk menilai para calon dari segi program.k.    Intervensi DPRDPada umumnya terjadi apabila DPRD tidak setuju akan pasangan terpilih dengan berbagai alasan. DPRD tidak mengirim berkas pemilihan kepada Gubernur dan Mendagri, hal itu menghambat pelantikan pasamgan terpilih. Hal itu pernah terjadi di Gorontalo dan Aceh. Peran DPRD dalam Pilkada juga dapat memicu konflik. Pilkada memang sepenuhnya dilaksanakan oleh KPU Daerah, tetapi pertanggungjawabannya harus disampaikan kepada DPRD, seperti yang tertulis pada pasal 66 ayat 3 poin, bahwa tugas dan wewenang DPRD dalam penyelenggaraan pemilihan  kepala daerah dan  wakil  kepala daerah adalahmeminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas KPUD. Dalam hal ini, kerja KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) berpotensi diintervensi oleh partai politik yang mempunyai kekuatan di DPRD. Sebab, sejalan dengan kewenangan yang besar dalam proses-proses politik lokal, partai politik berpotensi mengintervensi fungsi KPUD, jika kerja KPUD dianggap tidak menguntungkannya. Selain kesebelas kelemahan pemilukada secara langsung di Indonesia, masih terbadapat banyak kelemahan, antar lain :·      Manipulasi perhitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara dapat terjadi di setiap tingkatan, yaitu di KPPS, PPK, KPU Kabupaten, dan KPU Provinsi. Permasalahan penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara akan manipulasi, disebabkan oleh banyaknya TPS yang tersebar dalam wilayah yang luas. Dengan banyaknya TPS yang tersebar luas membuat para pasangan calon sulit mengontrolnya karena memerlukan saksi yang banyak dan biaya besar. Di lain pihak para penyelenggara Pilkada di beberapa daerah tidak netral, berhubung sistem seleksi anggota KPUD tidak belum memadai. Hal itu, memunculkan konflik pasca pilkada. Munculnya konflik pasca pilkada dapat terjadi akibat kecurangan-kecurangan pada saat seperti, kempanye, manipulasi data berupa penggelembungan suara dan rasa tidak puas akibat calon idaman kalah.
·      Dalam pelaksanaan pilkada di lapangan banyak sekali ditemukan penyelewengan penyelewengan. Kecurangan ini dilakukan oleh para bakal calon seperti : Intimidasi. Sebagai contoh yaitu pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos salah satu calon. Hal ini sangat menyeleweng dari aturan pelaksanaan pemilu.·      Beratnya persyaratan pengajuan calon. Dalam UU No. 32 tahun 2004 Pasal 59 ayat 2 disebutkan bahwa hanya partai politik yang memperoleh suara 15% kursi DPRD atau 15% dari akumulasi suara sah yang diperoleh dalam pemilu legislatif yang berhak mengajukan calon. Pandangan diatas sangat relefan dengan kejadian yang terjadi di beberapa  daerah termasuk daerah Bali. Dimana beberapa daerah yang ada di Bali, sekitar 80% dimenangkan oleh PDIP sehingga daerah-daerah tersebut sulit mendapatkan dua pasang calon.[9]·      Sistem dua putaran yang dianut ternyata dijadikan sarana dibeberapa daerah untuk mengajukan anggaran pilkada secara berlebihan. Di Surabaya misalnya, KPUD mengajukan anggaran dua putaran, dan disetujui oleh DPRD kotaSurabaya sekitar 36 milyar, dari dana ini, 23 milyar diantaranya dianggarkan untuk putaran pertama dan selebihnya dianggarkan untuk putaran kedua. Padahal, disurabaya tidak mungkin terjadi putaran kedua sebab calon yang ada tidak lebih dari empat pasang.
·      Cara pemilihan kepala daerah dengan menempatkan figur sebagai pertimbangan utama dalam menentukan pilihan kepala daerah. konsekuensi dari cara pemilihan semacam akan meningkatkan ketegangan hubungan antar pendukung pasangan calon sebab penerimaan dan penolakan terhadap pasangan calon dalam konteks kultur Indonesia lebih banyak disebabkan oleh hubungan yang bersifat emosional ketimbang rasional.
·      Besarnya daerah pemilihan, yaitu seluruh wilayah propinsi untuk pemilihan gubernur dan seluruh wilayah kabupaten untuk pemilihan bupati, menyebabkan proses pelaksanaan kampanye sulit dikendalikan.
·      Ketidaksiapan pemilih untuk menerima kekalahan calon yang diunggulkan. Dibeberapa daerah yang telah melakukan pemilihan kepala daerah secara langsung, kejadian seperti ini sering terjadi sehingga menimbulkan konflik antar pendukung pasangan calon.
 3.    Analisis Masa Depan Pemilukada di IndonesiaBerkaitan dengan masa depan pelaksanaan Pemiluda di Indonesia, penulis cenderung untuk menghapuskan Pemilukada secara langsung. Alasan itu didasarkan pada beberapa pertimbangan, antara lain :a.    Masih banyak permasalahan-permasalahan selama pemilukada di Indonesia yang perlu dikaji secara mendalam, seperti masalah:      Money politic dan cost politic
      Independensi Pawaslu Daerah
      Lambatnya pengiriman logistik
      Independensi media masa
      Pendataan pemilih
      Pendaftaran dan penetapan pasangan calon
      Penghitungan suara dan penetapan hasil akhir
      Konflik pilkada
b.    Demokrasi yang dianut Indonesia lebih mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Subtansi pemilu adalah adanya pergantian kepemimpinan/ rotasi kekuasaan secara rutin dan berkala, untuk mencegah kekuasaan yang absolut. Pemilu secara langsung merupakan demokrasi yang prosedural. Indonesia selama ini hanya merapkan demokrasi secara prosedural, seharusnya penerapakan demokrasi lebih mengutamakan subtansinya. Maka dari itu dalam memilih kepala daerah tidak harus/mutlak secara langsung. Dalam Konstitusi tidak disebutkan dengan cara apa memilih Kepala Daerah, yang terpenting dilakuakan secara demokratis. UUD 1945, hanya mengamanatkan untuk memilih kepala daerah secara demokratis. “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.[10]Menimbang permasalahan Pemilukada lebih banyak kelemaha dari pada kelebihannya. Pemilukada merupkan tuntutan saat reformasi akibat trauma rakyat terhadap rezim sebelummnya. Namun saat ini pemilukda yang sudah berjalan hampir 1 dekade tidak membuahkan hasil yang maksimal. Banyak terjadi pelanggaran pada tahapan pemilu, biaya terlalu besar dan kulitas pemimpin yang dihasilkan buruk seperti terlibat kasus korupsi, dll.Pilkada yang selama ini berlangsung dinilai terlalu mahal, dan mempunyai dampak sosial yang amat luas. Pilkada langsung dianggap sebagai pemicu lahirnya politik transaksional,  sehingga turut andil melahirkan perilaku koruptif. Hal itu dikarenakan, setiap kandidat yang akan berlaga mengeluarkan biaya yang besar.[11]Biaya ini muncul mulai dari pencalonan, kampanye hingga pada perhitungan suara seperti untuk membiayai saksi.  Untuk memperbaiki kondisi ini, sejumlah kalangan mengusulkan agar Pilkada diusulkan serentak. Langkah ini diharapkan dapat menekan biaya politik yang sudah dinilai demikian tinggi. Mobilisasi suara antar daerah  yang diduga kerap mewarnai Pilkada juga dapat  ditekan.Usulan yang paling ekstrim, adalah menghapus Pilkada langsung. Usulan ini terlontar karena Pilkada acapkali menimbulkan konflik antar pendukung. Tidak hanya itu, Pilkada langsung  selam ini hanya dianggap hanya berorientasi uang. Belum lagi, masalah ‘mahar’ untuk mendapatkan dukungan dari partai politik.  Masa depan Pemilukada di IndonesiaSistem negara demokrasi di Indonesia adalah pilihan rasional atas hipotesa fakta empiris dan sosiologis terkait struktur dan tatanan masyarakat Indonesia saat ini. Ia tumbuh di atas metamorfosa pemikiran yang membidani sebuah sistem politik untuk meletakkan masyarakat sebagai episentrum partisipatoris akan quo vadis nasib bangsanya. Walaupun demokrasi bukanlah merupakan sistem politik dan pemerintahan yang sempurna, namun saat ini barangkali kita sepakat bahwa pilihan demokrasi adalah pilihan terbaik  dari sistem lainnya. Sebut saja misalnya monarki, aristokrasi, otokrasi, plutokrasi, gerontokrasi,dll.Walaupun demikian, sistem demokrasi yang dipilih negara untuk mengorganisasikan tatanan kehidupan bermayarakat, berbangsa dan bernegara bukanlah sebuah sistem  sempurna dan tanpa cacat. Oleh karenanya, sebuah sistem politik yang mengonstruksi sebuah negara,  juga perlu menimbang berbagai Implikasi serius yang timbul terkait ekses subyektif maupun obyektif dari penerapan sistem demokrasi. Baik penerapannya melalui sistem perwakilan (melalui mekanisme pemilihan wakil rakyat DPR/DPRD), maupun langsung (melalui mekanisme pemilu presiden dan pilkada).Pemilihan Umum secara langsung dalam pilkada, sejatinya merupakan salah satu wujud demokrasi yang saat ini tengah diterapkan di Indonesia. Perwujudan demokrasi tersebut, pada hakekatnya merupakan upaya  memberdayakan peran dan partisipasi masyakarat terkait pengejewantahan hak-hak politik dan sosialnya, yang dijamin secara konstitusional. Medium demokrasi dan demokratisasi melalui mekanisme politik partisipasi inilah yang diharapkan akan mampu memberikan multiplier effect. Bukan saja terkait pada semakin besarnya tingkat pendewasaan berfikir masyarakat akan hak dan kewajiban politik-konstitusionalnya, namun juga diharapkan melalui mekanisme dan sistem pemilihan langsung (baik pilpres maupun pilkada). Posisi tawar masyarakat terkait kepentingannya menentukan masa depan yang lebih baik semestinya menjadi keniscayaan.[12]Terkait hasil dan berbagai problem dalam pelaksanaan pilkada itulah, saat ini diperlukan kembali upaya menakar ekses penerapan sistem pemilihan langsung (Pilkada). Saat ini berbagai bentuk wacana untuk mengevaluasi kembali penerapan pilkada sangat penting untuk memberikan referensi bagi pengambil kebijakan negeri ini untuk menimbang kembali implementasi pilkada secara konstruktif dan proporsional, tanpa mencederai substansi peran partisipasi politik masyarakat. Analisis ini menjadi catatan penting mengingat pelaksanaan pilkada selama ini. Secara empiris, akhirnya menyadarkan kita akan perlunya kembali menelaah arah dan cita-cita politik masyarakat terkait bagaimana meletakkan proses, pelaksanaan dan hasil pilkada dalam konstruksi pembangunan kesejahteraan masyarakat.Implikasi Dinamika Pelaksanan Pemilukada di IndonesiaBerdasarkan perspektif pemberitaan media massa tentang pelaksanaan pilkada di Indonesia, terdapat beberapa keyword yang sangat penting sebagai ranah kajian bagi pengambil kebijakan negeri ini untuk menempatkan kembali quo vadis pilkada dalam konteks yang lebih produktif bagi kemaslahatan masyarakat. Keyword penting tersebut adalah sebagai berikut :Pertama, Pilkada di daerah masih merupakan pilihan rasional yang masih diinginkan masyarakat untuk menentukan pemimpinnya di daerah. Fakta opini masyarakat ini menjadi catatan penting pemerintah. Mengingat, masyarakat kita secara sosiologis memandang bahwa pemilihan langsung untuk menunjuk seorang pemimpin yang berasal dari putra daerah  merupakan kebanggaan, Selain itu, juga masih menganggap bahwa mekanisme pemikiran dan kepentingan masyarakat akan nilai keterwakilan aspirasinya masih lebih besar terakomodir dengan baik. Ketimbang, asumsi bahwa pemimpin tersebut merupakan titipan yang berasal dari pusat kekuasaan seperti yang terjadi di masa orde baru dulu. Persepsi publik inilah yang kerap dijadikan oleh pemerintah untuk melegitimasi pencitraan politiknya kepada dunia internasional, bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang sangat produktif melahirkan struktur kehidupan bermasyarakat yang memiliki nilai-nilai demokratisasi dengan baik.
Persepsi publik masyarakat ini seharusnya perlu dikritisi agar masyarakat memahami dan cenderung lebih penting mendudukkan kembali nilai-nilai objektifitas untuk mendefinisikan kembali secara personal maupun kepemimpinan seorang kepala daerah. Sebab faktanya, pemimpin yang berasal dari putra daerah tidak serta merta berkoefisien korelatif secara langsung dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.Perspektif kepemimpinan ini dikaitkan dengan struktur kekuasaan pemerintah daerah, yang di peroleh oleh seorang  kepala daerah dengan ongkos politik yang tidak murah. Biaya pilkada yang sangat mahal inilah yang justru menyebabkan sistem demokrasi langsung di daerah berkembang secara tidak proporsional dan obyektif. Terminologi yang tepat mendefinisikan maksud pernyataan ini adalah bahwa proses pilkada yang mahal itu telah menyebabkan terjadinya kapitalisasi pilkada dengan kultur kekuasaan yang ekonomistik, yang menempatkan kekuasaan politik kepala daerah hanya sebagai investasi an sich dan melihat potensi daerah sebagai opportunity ekonomi bagi kepentingan pribadinya.Implikasi politik terjadinya kapitalisasi pilkada inilah yang menyebabkan demokratisasi-partisipasi masyarakat menjadi ter-negasi oleh paradigma tersebut. Artinya masyarakat hanya diletakkan sebagai obyek politik massa ,yang dimanfaatkan calon kepala daerah hanya ketika proses pilkada itu berlangsung. Masyarakat kemudian menjadi mahfum dengan terminologi kapitalisasi pilkada ini, karena proses pilkada sarat dengan politik uang.Masyarakat memang sejatinya mendapat “berkah” sesaat dari proses pelaksanaan pilkada. Setelah pelaksanaan pilkada usai, maka kepala daerah terpilih, akan sibuk dengan upaya merekapitalisasi kembali asset yang telah dikeluarkan selama proses “investasi” pemilihan itu berlangsung. Fakta ini bisa dilihat dengan data 10 tahun terakhir terkait tingkat korupsi kepala daerah yang sangat tinggi. Termasuk data yang dilansir oleh lembaga-lembaga survei bahwa saat ini saja 60 persen lebih, kepala daerah dipimpin oleh seorang pemimpin berstatus tersangka.Karena terjadinya pola kapitalisasi pilkada inilah, maka yang terjadi adalah siapa yang mempunyai modal besar, dialah yang akan menjadi pemimpin. Karena kapitalisasi pilkada ini pulalah kemudian berimbas bagi ketidakrelaan calon yang kalah dalam pilkada. Ketidakrelaan kekalahan ini kemudian dimanifestasikan dalam upaya mempolitisasi hasil pilkada baik secara formal-konstitusional (melalui gugatan ke MK), maupun mempolitisasi massa untuk tidak menerima calon pemimpin yang menang. Sehingga, berimplikasi kepada timbulnya resistensi politik bagi kepemimpinan kepala daerah terpilih. Lebih parah lagi,  semakin diproduksinya eskalasi konflik politik dan  konflik sosial dalam berbagai spektrum kepentingan, oleh calon yang tidak berjiwa besar menerima kekalahan. Dalam konteks yang demikian, maka kita kerap menyaksikan bahwa konflik politik dan sosial di daerah tidak pernah kunjung usai dan terus terpelihara dengan baik walaupun pelaksanaan pilkada jauh telah usai.Kedua, pilkada merupakan manifestasi reformasi birokrasi yang merubah mindset pengelolaan negara yang tadinya bersifat sentralistik menjadi desentralistik.
Sebagai salah satu buah semangat reformasi adalah merubah tatanan struktur pengelolaan birokrasi negara yang tadinya sentralistik menjadi desentralistik. Hal ini merupakan antitesa dari semangat merubah tatanan dari orde baru menjadi sistem baru yang dikenal pasca reformasi sekarang ini. Namun demikian, setelah 10 tahun lebih reformasi bergulir, semangat desentralisasi ini cenderung dimanfaatkan oleh pemimpin daerah untuk “bebas” mengeksploitasi daerah sesuai dengan selera kekuasaannya. Radikalisasi pengelolaan pemerintahan daerah inilah yang menyebabkan konstitusi negara yang diatur dan dijalankan oleh pemerintah pusat terabaikan. Yang terlihat, justru munculnya  raja-raja kecil yang sangat “otonom” menguasai daerah.Akibatnya, program-program nasional yang dicanangkan oleh pemerintah pusat menjadi terhambat. Fakta terjadinya distorsi ini terlihat ketika presiden, sebagaimana dilansir  berbagai media massa, menyatakan salah satu gagalnya program-program berskala nasional, karena ulah arogansi sepihak pimpinan daerah.  Misalnya , masalah kebijakan ekonomi dan investasi, justru sebagian besar dihambat pimpinan pemerintah daerah sekelas  walikota dan bupati. Terhambatnya program-program tersebut, bukan cuma terkait dengan arogansi pemimpin daerah, tapi juga disebabkan karena banyaknya regulasi dalam bentuk perda dan kebijakan pemerintah daerah yang tidak inheren atau justru bertentangan dengan kebijakan dan regulasi pemerintah pusat. ini menunjukkan absurditas hiraki pemerintahan. Kebijakan pemerintah pusat menjadi gembos ketika masuk pada tataran pelaksanaan teknis di daerah.Pemerintah memang kerap melakukan evaluasi terkait persoalan ini. Namun faktanya, hingga saat ini, problem mendasar masalah regulasi dan kebijakan pemimpin daerah yang menghambat kebijakan program nasional pemerintah pusat, masih kerap terjadi. Salah satu sebab mendasar yang menjadi argumentasi pemerintah daerah adalah  menyangkut persoalan intervensi pemerintah pusat, yang dianggap melanggar sendi-sendi atau semangat otonomi daerah. Kesalah-kaprahan memaknai otonomi daerah inilah yang menyebabkan pemerintah pusat sampai saat ini mengalami dispute dan seolah tidak memiliki kekuasaan “memaksa”. Padahal, pemerintah pusat secara formal dan konstitusional punya kewenangan untuk meluruskan kesalahpahaman pengelolaan daerah, karena terlalu sempit menafsirkan konsep kepala daerah dipilih langsung oleh rakyatnya di daerah. Sehingga, pucuk pimpinan pemerintah daerah “merasa” mempunyai kewenangan mutlak untuk melakukan kebijakan apapun.Ketiga, Pemilukada telah meletakan sistem demokrasi di Indonesia baru sebatas demokrasi “theatrical“. Yakni demokrasi yang diusung  melalui jalan pemilihan umum, hanya sebatas kosmetika wajah suatu bangsa yang seolah-olah menjalankan nilai demokrasi dalam pemilihan umum. Yaitu, langsung, umum, bebas, jujur dan adil.  Namun, dalam prakteknya hal tersebut sangat jauh dari nilai-nilai yang sesungguhnya. Walaupun kita sibuk menjustifikasi bahwa demokrasi memerlukan proses. Tapi, faktanya proses tersebut  tetap haruslah bersinergi dengan faktor-faktor lain, yang mendasari terbentuknya proses demokratisasi tersebut secara konstruktif.
Faktor-faktor tersebut antara lain dipengaruhi oleh wibawanya Pemerintah Pusat (Presiden dan DPR) dan KPU/ KPUD dalam membuat aturan yang tegas terkait rule of the game pemilukada. Hal tersebut penting, mengingat selama ini regulasi yang tegas hanya terkait pada proses dan mekanisme pemilhan. Namun sangat tidak berbanding lurus dengan ketegasan membangun law enforcement bagi setiap bentuk pelanggaran etika dan pelanggaran konstitusional aturan pemilukada. Sehingga inilah yang dikatakan, demokrasi kita masih bersifat theatrical, bukan demokrasi substantif yang benar-benar mengusung nilai-nilai demokratisasi dan hak-hak civil society dengan baik.Terkait dengan masalah civil society ini, maka faktor yang mendorong berkembangnya proses demokrasi sangat dipengaruhi juga oleh, bagaimana peran parpol dalam mencetak kader pemimpin di daerah. Sebab selama ini proses pengkaderan dan lahirnya pemimpin melalui jalan mekanisme politik praktis, khususnya di daerah masih sangat lemah. Kondisi ini yang menyebabkan hampir sebagian besar pemimpin daerah lahir dari seorang pengusaha dan/ atau mereka yang hanya memliki modal kuat. Sementara, parpol berfungsi hanya sebagai stempel yang menjadi kendaraan sekaligus supir yang ditumpangi oleh calon kepala Daerah. Kondisi obyektif inilah yang menyebabkan hasil pemilukada secara langsung tidak serta merta menghasilkan pemimpin yang berkualitas, kompeten dan memiliki integritas serta peduli dengan rakyatnya.Seperti yang telah diulas sebelumnya, karena persoalan melihat perspektif pemilukada sebagai sebuah peluang ekonomis inilah maka yang terjadi  praktek korupsi di daerah dan suburnya persoalan money politics tak pernah kunjung usai dan sulit diberantas. Sinergitas dan kolaborasi efektif antara parpol dan calon kepala daerah dalam konteks melihat begitu besarnya biaya pemilukada adalah dikarenakan antara calon kepala daerah dengan parpol sama-sama memiliki persepsi dan mindset yang sama, yakni memahami pilkada sebatas sebagai sebuah komoditas dan industri yang profitabilitasnya memadai untuk tujuan-tujuan jangka pendek maupun jangka panjang kekuasaan-bukan kesejahteraan sosial masyarakat.Keempat, Alasan kompatibilitas bahwa pemilihan langsung presiden juga harus dilakukan pula terhadap gubernur,  bupati dan walikota harus segera dievaluasi. Alasan kompabilitas sebagai implementasi UU No.32 Tahun 2004, sebenarnya dimaksudkan agar arah  pembangunan politik dan ekonomi bersinergi serta terintegrasi dari pusat sampai ke daerah. Namun pada kenyataannya, kesamaan proses inilah yang  menjadi akar penyebab hirarki kepemimpinan dalam pemerintahan menjadi tersekat-sekat dan tidak sejalan.
Sehingga, antara pemimpin pemerintahan di daerah  dan  pusat seolah masing-masing berdiri sendiri. Implikasinya, baik pemerintah maupun pejabat di daerah bekerja secara parsial-tidak kontekstual sesuai dengan arah dan visi negara. Dengan kondisi seperti ini, sebenarnya sama saja bangsa ini menerapkan pseudo demokrasi. Hanya menjadikan pemimpin sekedar simbol kosong, yang tidak memiliki peran strategis dalam memberdayakan rakyatnya. Dengan kata lain, kondisi ini menyebabkan ada atau tidaknya pemimpin, pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di daerah khususnya, ditentukan sendiri oleh kesanggupan dan nasib individu masyarakatnya. Padahal negara berperan melindungi segenap masyarakat dan memajukan kesejahteraan masyarakat.Empat kata kunci tentang implikasi dinamika pelaksanaan pilkada  ini, seyogyanya mendorong pengambil kebijakan negeri ini untuk menemukan formasi ideal dan proporsional terkait masa depan bangsa. Khususnya, menyangkut masalah proses suksesi kepemimpinan melalui pemilukada. Sehingga dapat menimbang dan menakar secara obyektif, antara konsep sistem pelaksanaan demokrasi di daerah dengan ekses yang timbul selama penerapan pemilukada secara langsung di daerah.  Proses ini seharusnya menjadikan bangsa besar  ini lebih peka terhadap berbagai akar persoalan baik secara ideologis, sosiologis maupun filosofis yang kerap menjadi preseden yang tak pernah selesai, atau minimal tereliminasi kualitas dan kuantitatsnya.Seperti besarnya biaya politik pemilukada dan money politics selama proses pemilukada, yang berimbas pada terjadinya korupsi pemimpin di daerah sebagai bentuk pengganti ongkos investasi menjadi pemimpin.  Selain itu, terjadinya resistensi pemimpin daerah kepada pemerintah pusat, yang menyebabkan eksistensi pemerintah pusat justru tidak legitimate di mata pemerintah daerah terkait dengan banyaknya program, kebijakan dan kebijakan berskala nasional yang tidak/ enggan dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Bahkan, tak jarang di tentang oleh pemerintah di daerah. Kemudian, lestarinya konflik horizontal antar masyarakat akar rumput karena kerap dipicu oleh pemanfaatan politik massa oleh calon pemimpin dan pemimpin yang berkuasa didaerah. Baik selama proses pemilukada maupun sepanjang pemimpin tersebut memimpin daerah, yang konstelasi masalahnya kerap dipicu oleh calon pemimpin daerah yang kalah dalam kompetisi pemilihan.Pada akhirnya, setidaknya perlu evaluasi secara tepat, proporsional dan obyektif. Sangat logis, bilamana mewacanakan kembali sistem pemilihan langsung  hanya cukup sampai dengan presiden dan gubernur saja. Dengan cara dan mekanisme yang tetap menjunjung tinggi peran dan partisipasi masyarakat, tanpa mencederai hak dan kepentingan civil society masyarakat terhadap negara.        BAB IIIPENUTUP A.           KESIMPULANBerdasarkaan pembahasan permasalahan pada BAB II : PEMBAHASAN, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa :1.    Analisis Kelebihan PemilukadaPertama, pilkada secara langsung memungkinkan proses yang lebih Partisipasi. Kedua, proses pilkada secara langsung memberikan ruang dan pilihan yang terbuka bagi masyarakat untuk menentukan calon pemimpin yang memiliki kapasitas, dan komitmen yang kuat serta legitimate dimata masyarakat.Ketiga, mendekatkan elit politik dengan konstituen atau masyarakat. Keempat, lebih terdesenralisasi.
Beberapa kelebihan dalam penyelenggaraan pilkada langsung antara lain sebagai berikut :a.    Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat.
b.    Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945.c.    Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi bagirakyat.
d.   Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah.e.    Pilkada langsung sarana bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional. 2.    Analisis Kelemahan PemilukadaMenurut Leo Agustino ada sebelas (11) permasalahan pemilukada di Indonesia, yaitu :1)        Daftar Pemilih tidak akurat2)        Persyaratan Calon tidak lengkap3)        Pencalonan Pasangan dari parpol4)        Penyelenggara atau KPUD tidak netral5)        Panwas pilkada dibentuk terlambat6)        Money politik7)        Dana kampaye8)        Mencuri start kampaye9)        PNS tidak netral10)    Pelanggaran kampanye11)    Intervensi DPRDSelain itu, masih terdapat banyak kelemahan pemilukada secara langsug di Indonesia baik yang dilakukan secar tidak disengaja ataupu terorganisir.3.    Analisis Masa Depan Pemilukada di IndonesiaBerkaitan dengan masa depan pelaksanaan Pemiluda di Indonesia, penulis cenderung untuk menghapuskan Pemilukada secara langsung. Alasan itu didasarkan pada beberapa pertimbangan, antara lain :Pertama, masih banyak permasalahan-permasalahan selama pemilukada di Indonesia yang perlu dikaji secara mendalam, seperti masalah: Money politic dan cost politic; Independensi Pawaslu Daerah; Lambatnya pengiriman logistik; Independensi media masa; Pendataan pemilih; Pendaftaran dan penetapan pasangan calon; Penghitungan suara dan penetapan hasil akhir; Konflik pilkadaKedua, Demokrasi yang dianut Indonesia lebih mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Subtansi pemilu adalah adanya pergantian kepemimpinan/ rotasi kekuasaan secara rutin dan berkala, untuk mencegah kekuasaan yang absolut. Pemilu secara langsung merupakan demokrasi yang prosedural. Indonesia selama ini hanya merapkan demokrasi secara prosedural, seharusnya penerapakan demokrasi lebih mengutamakan subtansinya.
Pilkada yang selama ini berlangsung terlalu mahal, dan mempunyai dampak sosial yang amat luas. Pilkada langsung dianggap sebagai pemicu lahirnya politik transaksional,  sehingga turut andil melahirkan perilaku koruptif. Hal itu dikarenakan, setiap kandidat yang akan berlaga mengeluarkan biaya yang besar. Biaya ini muncul mulai dari pencalonan, kampanye hingga pada perhitungan suara seperti untuk membiayai saksi.  Untuk memperbaiki kondisi ini, sejumlah kalangan mengusulkan agar Pilkada diusulkan serentak. Langkah ini diharapkan dapat menekan biaya politik yang sudah dinilai demikian tinggi. Mobilisasi suara antar daerah  yang diduga kerap mewarnai Pilkada juga dapat  ditekan. Usulan yang paling ekstrim, adalah menghapus Pilkada langsung. Usulan ini terlontar karena Pilkada acapkali menimbulkan konflik antar pendukung. Tidak hanya itu, Pilkada langsung  selam ini hanya dianggap hanya berorientasi uang. Belum lagi, masalah ‘mahar’ untuk mendapatkan dukungan dari partai politik.  B.            SARANPenulis dapat memberikan saran, terkait Pemilukada yaitu dihapus. Mekanisme lebih lajut dapat dibahas Pemerintah yaitu Presiden dan DPR-RI tentang bagaimana pengangkatan kepala daerah, dipilih DPRD atau diangkat Presiden. Pertama, Pemilukada dihapus secara keseluruhan dan mekanisime pemilihan diserahkan ke DPRD, dengan memperbaiki rekruitmen politik dan sistem kepartaian terlebih dahalu. Agar kader partai yang memiliki kapasitas dan kapabilitas berhak menduduki jabatan kepala daerah. Selain itu untuk mencegah kongkalikong, haruslah dibuat mekanisme yang tidak biasa main dibelakang anatara DPRD dan calon pasangan. Kedua, pengangakatan kepala daerah oleh Presiden harus memunuhi kriteria-kriteria/ persyaratan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undanagan, agar Presiden tidak sewenang-wenang mengangkat dan memnerhentikan kepala daerah.Pada akhirnya, setidaknya perlu evaluasi secara tepat, proporsional dan obyektif. Sangat logis, bilamana mewacanakan kembali sistem pemilihan langsung  hanya cukup sampai dengan presiden. Dengan cara dan mekanisme yang tetap menjunjung tinggi peran dan partisipasi masyarakat, tanpa mencederai hak dan kepentingan civil society masyarakat terhadap negara.             DAFTAR PUSTAKA Agustino, Leo. 2009. Pilkada dan Dinamika Politik Lokal. Yogyakata: Pustaka Pelajar.Author. (2010, 19 Desember). Makalah Otonomi Daerah. Diperoleh 2 Januari 2013, dari http://miellahsmartflower.blogspot.com.Author. (2011, 7 Februari). Analisa Proses Pelaksanaan Pemerintahan Daerah. Diperoleh 2 Januari 2013, dari http://liarkanpikir.wordpress.com.Author. Kelebihan dan kekurangan pilkada secara langsung. Diperoleh 2 Januari 2013, dari http://www.yousaytoo.com/kelebihan-dan-kekurangan-pilkada-secara-langsung/2745411.Firmanto, Taufik. (2011, 9 Desember). Kedaulatan Rakyat Dalam Pemilihan Umum di Indonesia.Diperoleh 2 Januari 2013, dari http://politik.kompasiana.com/2011/12/09/kedaulatan-rakyat-dalam-pemilihan-umum-di-indonesia.
Iqbal, M. (2012, 10 Juli). Dulu Pilkada, Lalu Pemilukada, Kini Pilgub. Diperoleh 3 Januari 2013, dari http://news.detik.com/read/2012/07/10/093845/1961693/10/dulu-pilkada-lalu-pemilukada-kini-pilgub.Kamo, Jhon.  (2011, 16 April). Kontestasi Elit Lokal Dalam Pilkada. Diperoleh 2 Januari 2013, darihttp://idadagiyakanews.multiply.com/journal/item/54/KONTESTASI-ELIT-LOKAL-DALAMPILKADA.
Mahardika, Ariyanto. (2012, 18 September).  Pilkada langsung: Serentak atau Dihapus. Diperoleh 3 Januari 2013, dari http://www.soloposfm.com/2012/09/pilkada-langsung-serentak-atau-dihapus/.Prasojo E., Maksum, Irfan Ridwan., dan Kurniawan, Teguh. 2006. Desentralisasi &   Pemerintahah Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal & Efisiensi Struktural. Jakarta: FISIP UI.Sofyan, Syafran. 2012. Permasalahan dan Solusi Pemilukada.  Diperoleh 2 Januari 2013, darihttp://www.lemhannas.go.id/portal/in/daftar-artikel/1634-permasalahan-dan-solusi-pemilukada.html.Trinada, Andi. (2011, 22 Maret). Menimbang Kembali Pelaksanaan Pemilukada di Indonesia. Diperoleh 2 Januari 2013, dari http://politik.kompasiana.com.Wikipedia Indonesia. 2012. Pemilihan kepala daerah di Indonesia. Diperoleh 2 Januari 2013, darihttp://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_kepala_daerah_di_Indonesia.
 Peraturan Perundang-undanganUndang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

[1]  Eko Prasojo, Irfan Ridwan Maksum dan Teguh Kurniawan, Desentralisasi &   Pemerintahah Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal & Efisiensi Struktural, Jakarta: DIA FISIP UI, 2006
[2] http://idadagiyakanews.multiply.com/journal/item/54/KONTESTASI-ELIT-LOKAL-DALAM PILKADA
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_kepala_daerah_di_Indonesia[4] Pasal 56 (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
[5] http://news.detik.com/read/2012/07/10/093845/1961693/10/dulu-pilkada-lalu-pemilukada-kini-pilgub
[6] http://www.yousaytoo.com/kelebihan-dan-kekurangan-pilkada-secara-langsung/2745411[7] http://liarkanpikir.wordpress.com/2011/02/07/60/ [8] Leo agustino, Pilkada dan Dinamika Politik Lokal, Yogyakata, PustakaPelajar , 2009, hal 121 - 152
[9] http://www.yousaytoo.com/kelebihan-dan-kekurangan-pilkada-secara-langsung/2745411[10] Pasal 18 ayat (4) UUD 1945
[11] http://www.soloposfm.com/2012/09/pilkada-langsung-serentak-atau-dihapus/
[12] Andi Trinada, Menimbang Kembali Pelaksanaan Pemilukada di Indonesia,http://politik.kompasiana.com/2011/03/22/menimbang-kembali-pelaksanaan-pemilukada-di-indonesia/


x