tulisan
1. Perkembangan Pemerintah Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi
PendahuluanSecara konstitusional, peran dan kedudukan
Wakil Presiden dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, baik sebelum
maupun sesudah amandemen UUD 1945, belum mendapatkan kejelasan.
Setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan tidak jelasnya peran dan kedudukan
Wakil Presiden.Pertama, kedudukan Wakil Presiden adalah sebagai Pembantu Presiden,
sebagaimana diatur di dalam UUD 1945 Pasal 4 ayat (2). Sebagai Pembantu
Presiden kedudukan Wakil Presiden menjadi setara dengan menteri yang juga
sama-sama sebagai Pembantu Presiden. Wakil Presiden hanya merupakan the second man (orang
kedua);
Kedua, Wakil Presiden tidak bertanggung jawab kepada Presiden,
sebagaimana layaknya status menteri sebagai Pembantu Presiden yang bertanggung
jawab langsung kepada Presiden; dan
Ketiga, dalam tradisi dan praktik ketatanegaraan, belum pernah ada
Wakil Presiden yang menyampaikan pertanggung jawaban kepada MPR atau kepada
rakyat. Pertanggung jawaban selalu dibebankan kepada Presiden.Karena itu,
posisi Wakil Presiden sebagai “Pembantu Presiden menjadi kurang amemiliki
kewenangan dalam pengambilan keputusan. Hal itu disebabkan oleh beberapa
alasan: Pertama,
dalam sistem pemerintahan di Indonesia sejak tahun 1945 hingga sekarang,
jabatan Wakil Presiden tidak mempunyai wewenang apa-apa. Fungsinya hanya
menggantikan Presiden; Kedua, dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan di
Indonesia, Negara Republik Indonesia pernah tidak memiliki Wakil Presiden. Pada
masa pemerintahan Soekarno (1956-1967), Presiden berjalan sendiri
menjalankan roda pemerintahan, tanpa didampingi oleh Wakil Presiden. Mohammad
Hatta yang diangkat sebagai Wakil Presiden pada tanggal 18 Agustus 1945,Â
mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 1 Desember 1956. Sejak Mohammad
Hatta mengundurkan diri, jabatan Wakil Presiden tidak pernah diisi. Demikian
pula, pada masa awal pemerintahan Soeharto (1967-1973). Presiden Soeharto
diangkat oleh MPRS sebagai Pejabat Presiden, tanpa ada pengangkatan Pejabat
Wakil Presiden. Pada waktu Sidang Istimewa tanggal 7-12 Maret 1967 yang
mengeluarkan Ketetapan MPRS Nomor; XXXIII/MPRS/1967 mengenai pencabutan kekuasaan
pemerintahan Soekarno sekaligus menetapkan Jenderal Soeharto sebagai Presiden,
posisi Wakil Presiden tidak disinggung. Indonesia baru kembali memiliki Wakil
Presiden, setelah diangkatnya Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada tanggal 25
Maret 1973. Pada kenyataannya, meskipun tanpa Wakil Presiden,
pemerintahan dapat berjalan; Ketiga, hubungan Wakil Presiden dengan Presiden pada
setiap masa mempunyai karakter yang berbeda-beda.
Tulisan ini, akan mencoba menelaah peran
Wakil Presiden RI pertama, Drs. Mohammad Hatta. Bagaimanakah sesungguhnya peran
Mohammad Hatta selama menjabat sebagai Wakil Presiden? Apakah selama masa
jabatannya, Wakil Presiden tidak memiliki kewenangan apapun. Atau sebaliknya,
dari beberapa kebijakan politik yang diambil oleh Mohammad Hatta, justru pada
masa awal pemerintahan RI, Wakil Presiden memiliki peran yang cukup penting.
Dengan seiring perkembangan politik dan social Indonesia penerus bangsa ini
akan menjadi lebih baik atau sebaliknya? Pembahasan1. A. Masa pemerintahan orde lamaOrde
Lama adalah sebutan bagi masa pemerintahan PresidenSoekarno di Indonesia.Orde Lama berlangsung dari tahun 1945 hingga1968. Dalam jangka waktu tersebut, Indonesiamenggunakan
bergantian sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi komando.Di saat menggunakan sistem ekonomi liberal,
Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer.
Presiaden Soekarno di gulingkan waktu Indonesia menggunakan sistem ekonomi
komando.Pada 18 Agustus 1945 Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melantik Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hattasebagai
Wakil Presiden dengan menggunakan konstitusi yang dirancang beberapa hari
sebelumnya. Kemudian dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai
parlemen sementara hingga pemilu dapat dilaksanakan. Kelompok ini
mendeklarasikan pemerintahan baru pada 31 Agustus dan menghendaki Republik Indonesia
yang terdiri dari 8 provinsi: Sumatra, Kalimantan (tidak termasuk wilayah Sabah, Sarawak
dan Brunei), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku (termasuk Papua) dan Nusa Tenggara.Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia
menganut sistem multi partai yang ditandai dengan hadirnya 25 partai politik.
Hal ini ditandai dengan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober
1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Menjelang Pemilihan Umum
1955 yang berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29
parpol dan juga terdapat peserta perorangan. Pada masa diberlakukannya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia dilakukan penyederhanaan
dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960 yang mengatur
tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-partai. Kemudian pada
tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari
pemerintah, antara lain adalah sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO,
Partai Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada
tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan.Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29
parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini tidak berarti bahwa konflik ideologi
dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan politik dapat terkurangi. Untuk
mengatasi hal ini maka diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada tanggal
12 Desember 1964 yang menghasilkan “Deklarasi Bogor.”Secara
umum, hubungan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden dengan Soekarno sebagai
Presiden, sangat dinamis, bahkan kadang-kadang terjadi gejolak. Hatta adalah pengkritik
paling tajam sekaligus sahabat hingga akhir hayat Soekarno. Dinamika hubungan
Soekarno dengan Mohammad Hatta sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang
berlaku pada saat itu. Moh. Mahfudz, (1998:373-375) dalamPolitik Hukum di Indonesia, secara lebih spesifik
menguraikan perkembangan konfigurasi politik Indonesia ketika itu sebagai
berikut:Pertama, setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, terjadi
pembalikan arah dalam penampilan konfigurasi politik. Pada periode ini
konfigurasi politik menjadi cenderung demokratis dan dapat diidentifikasi
sebagai demokrasi liberal. Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1959, dimana
Presiden Soekarno menghentikannya melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada
periode ini pernah berlaku tiga konstitusi, yaitu UUD 1945, Konstitusi
RIS 1949, dan UUDS 1950. Konfigurasi politiknya dapat diberi satu kualifikasi
yang sama, yaitu konfigurasi politik yang demokratis. Indikatornya adalah
begitu dominannya partai-partai politik;
Kedua, konfigurasi politik yang demokratis pada periode 1945-1959,
mulai ditarik lagi ke arah yang berlawanan menjadi otoriter sejak tanggal 21
Februari 1957, ketika Presiden Soekarno melontarkan konsepnya tentang demokrasi
terpimpin. Demokrasi Terpimpin merupakan pembalikan total terhadap sistem
demokrasi liberal yang sangat ditentukan oleh partai-partai politik melalui free fight (Yahya
Muhaimin, 1991:42, Bisnis dan Politik, Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980. Jakarta : LP3ES).
Sejak
zaman pergerakan nasional, hubungan Soekarno dengan Mohammad Hatta yang
seringkali disebut Dwitunggal, terjalin dengan baik. Sejak tahun 1930-an,
keduanya telah beberapa kali ditahan dan diasingkan oleh pemerintah
kolonial Belanda, karena dianggap berbahaya bagi pemerintahan kolonial. Pada
masa pendudukan Jepang, kedua tokoh ini mendapatkan pengakuan sebagai
wakil-wakil rakyat Indonesia. Pada saat penyusunan naskah Proklamasi, keduanya
terlibat dalam proses penyusunan naskah teks proklamasi kemerdekaan. Pada
detik-detik menjelang pembacaan naskah proklamasi, Soekarno menolak desakan
para pemuda untuk membacakan teks proklamasi lebih awal karena Mohammad Hatta
belum datang. Ketika itu, Bung Karno berkata: “Saya tidak akan membacakan Proklamasi kemerdekaan jika Bung Hatta
tidak ada. Jika mas Muwardi tidak mau menunggu Bung Hatta, silahkan baca
sendiri, jawab Bung Karno kepada dr. Muwardi salah satu tokoh
pemuda pada waktu itu yang mendesak segera dibacakan teks Proklamasi. Begitu
percayanya Soekarno kepada Mohammad Hatta, pada tahun 1949, ia meminta
agar Mohammad Hatta selain menjadi Wakil Presiden, sekaligus juga menjadi
Perdana Menteri.Mohammad Hatta selalu menekankan perlunya
dasar hukum dan pemerintahan yang bertanggung jawab, karena itu Hatta tidak
setuju ketika Presiden Soekarno mengangkat dirinya sendiri sebagai formatur
kabinet yang tidak perlu bertanggung jawab, tidak dapat diganggu gugat, serta
menggalang kekuatan-kekuatan revolusioner guna membersihkan lawan-lawan politik
yang tidak setuju dengan gagasannya. Konflik ini mencapai puncaknya. Setelah
pemilihan umum 1955, Presiden Soekarno mengajukan konsep Demokrasi Terpimpin
pada tanggal 21 Februari 1957 di hadapan para pemimpin partai dan tokoh
masyarakat di Istana Merdeka. Presiden Soekarno mengemukakan Konsepsi Presiden,
yang pada pokoknya berisi:1. Sistem Demokrasi
Parlementer secara Barat, tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia, oleh
karena itu harus diganti dengan Demokrasi Terpimpin.
2. Untuk pelaksanaan
Demokrasi Terpimpin perlu dibentuk suatu kabinet gotong royong yang angotanya
terdiri dari semua partai dan organisasi berdasarkan perimbangan kekuatan yang
ada dalam masyarakat. Konsepsi Presiden ini, mengetengahkan pula perlunya
pembentukan Kabinet Kaki Empat yang mengandung arti bahwa keempat partai besar,
yakni PNI, Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI),
turut serta di dalamnya untuk menciptakan kegotongroyongan nasional.
3. Pembentukan Dewan
Nasional yang terdiri dari golongan-golongan fungsional dalam masyarakat. Dewan
Nasional ini, tugas utamanya adalah memberi nasihat kepada Kabinet, baik
diminta maupun tidak diminta.
Dengan
konsep yang diajukan Soekarno itu, Hatta menganggap Bung Karno sudah mulai
meninggalkan demokrasi dan ingin memimpin segalanya. Sebagai pejuang demokrasi,
ia tidak dapat menerima perilaku Bung Karno. Padahal, rakyat telah memilih
sistem demokrasi yang mensyaratkan persamaan hak dan kewajiban bagi semua warga
negara dan dihormatinya supremasi hukum. Bung Karno mencoba berdiri di atas
semua itu, dengan alasan rakyat perlu dipimpin dalam memahami demokrasi yang
benar. Jelas, bagi Bung Hatta, ini adalah sebuah contradictio in terminis. Di satu sisi ingin
mewujudkan demokrasi, sedangkan di sisi lain duduk di atas demokrasi.
Pembicaraan, teguran, dan peringatan terhadap Soekarno, sahabat
seperjuangannya, telah dilakukan. Tetapi Soekarno tidak berubah sikap.
Sebaliknya, Hatta pun tidak menyesuaikan dirinya dengan pandangan sikap dan
pendapat Soekarno.Mohammad Hatta telah mengundurkan diri
sebagai Wakil Presiden, sebelum Soekarno menyampaikan konsep Demokrasi
Terpimpin secara resmi. Pada tanggal 1 Desember 1956, Mohammad Hatta
mengirimkan surat pengunduran dirinya sebagai Wakil Presiden kepada DPR hasil
Pemilihan Umum 1955. Pada tanggal 5 Februari 1957 berdasarkan Keputusan
Presiden No. 13 Tahun 1957, Presiden Soekarno memberhentikan Mohammad Hatta
sebagai Wakil Presiden. Namun, pengunduran diri Mohammad Hatta dari posisi
Wakil Presiden tidak mengakibatkan hubungan pribadi keduanya menjadi putus.
Bung Karno dan Bung Hatta tetap menjaga persahabatan yang telah mereka jalin
sejak lama.Pengunduran
diri ini lebih disebabkan oleh karena perbedaan pendapat dengan Presiden.
Pengunduran diri Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden, tidak diikuti dengan
gejolak politik. Juga tidak ada tekanan-tekanan dari pihak luar. Perbedaan
pendapat antara Mohammad Hatta dengan Soekarno, lebih kepada visi dan
pendekatan Mohammad Hatta yang berbeda dengan Soekarno dalam mengelola
Negara. Perbedaan itu, sesungguhnya telah terjadi sejak awal. Namun, perbedaan
itu makin memuncak pada pertengahan tahun 1950-an. Soekarno menganggap revolusi
belum selesai, sementara Hatta menganggap sudah selesai sehingga pembangunan
ekonomi harus diprioritaskan (Adnan Buyung Nasution, Refleksi Pemikiran Hatta Tentang Hukum dan HAM,
Jakarta: CIDES, 20 Juni 2002).Meskipun
telah mengundurkan diri, banyak orang yang menghendaki agar Bung Hatta aktif
kembali. Di dalam Musyawarah Nasional tanggal 10 September 1957, dibahas
“Masalah Dwitunggal Soekarno-Hatta Demikian pula di DPR, beberapa anggota DPR
mengajukan mosi mengenai “Pemulihan Kerjasama Dwitunggal Soekarno-Hatta. DPR
kemudian menerima mosi mengenai Pembentukan Panitia Ad Hoc untuk mencari
“bentuk kerjasama Soekarno-Hatta. Panitia itu dibentuk pada tanggal 29
November 1957 dan dikenal sebagai Panitia Sembilan?, yang diketuai oleh Ahem
Erningpraja. Namun, Panitia Sembilan ini dibubarkan pada Bulan Maret 1958 tanpa
menghasilkan sesuatu yang nyata (Sekretariat Negara RI, 1981: 30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964).Pada sisi lain, Mohammad Hatta adalah Wakil
Presiden yang mampu menjadi satu kesatuan dengan Presiden Soekarno, sehingga
seringkali disebut Dwitunggal. Pelaksanaan konsep Dwitunggal Soekarno-Hatta
telah menempatkan kedudukan dan fungsi Wakil Presiden menjadi sama dengan
Presiden, padahal menurut UUD 1945 kedudukan Wakil Presiden adalah sebagai
Pembantu Presiden? serta dapat menggantikan Presiden jika Presiden berhalangan.
Fenomena ini menjadi semakin jelas apabila diperhatikan praktik ketatanegaraan
yang berlangsung antara tahun 1945 sampai tahun 1956. Pada masa ini,
Wakil Presiden banyak melakukan tindakan mengumumkan/ mengeluarkan peraturan
perundang-undangan antara lain, Maklumat Wakil Presiden No.X tanggal 16 Oktober
1945; Maklumat Pemerintah tanggal 17 Oktober 1945 tentang Permakluman Perang;
Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 tentang pendirian partai politik;
dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya.Pada saat berlaku UUD RIS 1949 dan UU
Nomor 7 Tahun 1949 tentang Penunjukkan Pemangku Sementara Jabatan Presiden
Republik Indonesia, Indonesia menganut sistem parlementer. Jika keadaan ini
dihubungkan dengan persoalan Presiden berhalangan serta pengisian jabatannya
untuk sementara oleh Wakil Presiden, maka tindakan yang dilakukan oleh Wakil
Presiden di bidang ketatanegaraan dapat ditafsirkan sebagai suatu pengisian
jabatan Presiden untuk sementara oleh Wakil Presiden. Dari sudut konsep
Dwitunggal, maka tindakan Wakil Presiden merupakan perwujudan dari konsep itu.Demokrasi parlementerTidak
lama setelah itu, Indonesia mengadopsi undang-undang baruyang terdiri dari sistem parlemen di
mana dewan eksekutifnya dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada parlemen atau MPR. MPR terbagi kepada partai-partai politik sebelum
dan sesudah pemilu pertama pada tahun 1955, sehingga koalisi pemerintah yang stabil susah
dicapai.Peran
Islam di Indonesia menjadi hal yang rumit. Soekarno lebih memilih negara sekuler yang
berdasarkan Pancasila sementara
beberapa kelompok Muslim lebih menginginkan negara Islam atau undang-undang
yang berisi sebuah bagian yang menyaratkan umat Islam takluk kepada hukum Islam.Demokrasi TerpimpinPemberontakan
yang gagal di Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat dan pulau-pulau lainnya yang
dimulai sejak 1958, ditambah kegagalan MPR untuk mengembangkan konstitusi baru,
melemahkan sistem parlemen Indonesia. Akibatnya pada 1959 ketika
Presiden Soekarnosecara unilateral membangkitkan kembali
konstitusi 1945 yang bersifat sementara, yang memberikan kekuatan presidensil
yang besar, dia tidak menemui banyak hambatan.Dari
1959 hingga 1965, Presiden Soekarno berkuasa dalam rezim yang otoriter di bawah
label “Demokrasi Terpimpin“.
Dia juga menggeser kebijakan luar negeri Indonesia menuju non-blok, kebijakan
yang didukung para pemimpin penting negara-negara bekas jajahan yang menolak
aliansi resmi dengan Blok Barat maupun Blok Uni Soviet. Para
pemimpin tersebut berkumpul di Bandung, Jawa Baratpada tahun 1955 dalam KTT Asia-Afrika untuk mendirikan fondasi yang kelak
menjadi Gerakan Non-Blok.Pada
akhir 1950-an dan
awal 1960-an, Soekarno bergerak lebih dekat kepada negara-negara
komunis Asia dan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam negeri. Meski PKI
merupakan partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan China, dukungan massanya tak pernah menunjukkan
penurutan ideologis kepada partai komunis seperti di negara-negara lainnya.Konfrontasi Indonesia-MalaysiaSoekarno
menentang pembentukan Federasi Malaysia dan
menyebut bahwa hal tersebut adalah sebuah “rencana neo-kolonial” untuk
mempermudah rencana komersial Inggris di
wilayah tersebut. Selain itu dengan pembentukan Federasi Malaysia,
hal ini dianggap akan memperluas pengaruh imperialisme negara-negara Barat di kawasan Asia
dan memberikan celah kepada negara Inggris dan Australia untuk mempengaruhi
perpolitikan regional Asia. Menanggapi keputusan PBB untuk
mengakui kedaulatan Malaysia dan menjadikan Malaysia anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB,
presiden Soekarno mengumumkan pengunduran diri negara Indonesia dari
keanggotaan PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan
mendirikan Konferensi Kekuatan Baru (CONEFO) sebagai tandingan PBB danGANEFO sebagai
tandingan Olimpiade. Pada tahun itu juga konfrontasi ini kemudian
mengakibatkan pertempuran antara pasukan Indonesia dan Malaysia (yang dibantu
oleh Inggris).Nasib Irian BaratPada
saat kemerdekaan, pemerintah Belanda mempertahankan kekuasaan terhadap belahan barat pulau Nugini (Papua),
dan mengizinkan langkah-langkah menuju pemerintahan-sendiri dan pendeklarasian
kemerdekaan pada 1 Desember 1961.Negosiasi
dengan Belanda mengenai penggabungan wilayah tersebut dengan Indonesia gagal,
dan pasukan penerjun payung Indonesia mendarat di Irian pada 18 Desember sebelum kemudian terjadi pertempuran
antara pasukan Indonesia dan Belanda pada 1961 dan 1962. Pada 1962 Amerika
Serikat menekan Belanda agar setuju melakukan perbincangan rahasia dengan
Indonesia yang menghasilkan Perjanjian New York pada Agustus 1962, dan Indonesia
mengambil alih kekuasaan terhadap Irian Jaya pada 1 Mei 1963.Gerakan 30 SeptemberHingga 1965, PKI telah menguasai banyak dari organisasi massa
yang dibentuk Soekarno untuk memperkuat dukungan untuk rezimnya dan, dengan
persetujuan dari Soekarno, memulai kampanye untuk membentuk “Angkatan Kelima”
dengan mempersenjatai pendukungnya. Para petinggi militer menentang hal ini.Pada 30 September 1965, enam jendral senior dan beberapa orang lainnya
dibunuh dalam upaya kudeta yang
disalahkan kepada para pengawal istana yang loyal kepada PKI. Panglima Komando
Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto, menumpas kudeta tersebut dan berbalik melawan
PKI. Soeharto lalu menggunakan situasi ini untuk mengambil alih kekuasaan.
Lebih dari puluhan ribu orang-orang yang dituduh komunis kemudian dibunuh.
Jumlah korban jiwa pada1966 mencapai setidaknya 500.000; yang
paling parah terjadi di Jawadan Bali. 1. B. Masa pemerintahan orde baruOrde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang
MPRS yang berlangsung pada Juni-Juli 1966. diantara ketetapan yang dihasilkan
sidang tersebut adalah mengukuhkan Supersemar dan melarang PKI berikut
ideologinya tubuh dan berkembang di Indonesia. Menyusul PKI sebagai partai
terlarang, setiap orang yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI ditahan.
Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian besar lainnya diasingkan ke pulau
Buru.[8] Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas
nasional dalam program politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional
terlebih dahulu diawali dengan apa yang disebut dengan konsensus nasional. Ada
dua macam konsensus nasional, yaitu :1. Pertama berwujud
kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD
1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini disebut juga dengan
konsensus utama.2. Sedangkan
konsensus kedua adalah konsensus mengenai cara-cara melaksanakan konsensus
utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus utama dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara
pemerintah dan partai-partai politik dan masyarakat.Setelah Kabinet Ampera terbentuk (25 Juli
1966). Menyusul tekad membangun dicanangkan UU Penanaman Modal Asing (10
Januari 1967), kemudian Penyerahan Kekuasaan Pemerintah RI dari Soekarno kepada
Mandataris MPRS (12 Februari 1967), lalu disusul pelantikan Soeharto (12 Maret
1967) sebagai Pejabat Presiden sungguh merupakan kebahagiaan tersendiri bagi
Gerakan Pemuda Ansor.Luapan kegembiraan itu tercermin dalam
Kongres VII GP Ansor di Jakarta. Ribuan utusan yang hadir seolah tak kuat
membendung kegembiraan atas runtuhnya pemerintahan Orde Lama, dibubarkannya PKI
dan diharamkanya komunisme, Marxisme dan Leninisme di bumi Indonesia. Bukan
berarti tak ada kekecewaan, justru dalam kongres VII itulah, rasa tak puas dan
kecewa terhadap perkembangan politik pasca Orla ramai diungkapkan. Seperti
diungkapkan Ketua Umum GP Ansor Jahja Ubaid SH, bahwa setelah mulai rampungnya
perjuangan Orde Baru, diantara partner sesama Orba telah mulai melancarkan
siasat untuk mengecilkan peranan GP Ansor dalam penumpasan G-30 S/PKI dan
penumbangan rezim Orde Lama. Bahwa suasana Kongres VII, dengan demikian,
diliputi dengan rasa kegembiraan dan kekecewaan yang cukup mendalam.Kongres VII GP Ansor berlangsung di
Jakarta, 23-28 Oktober 1967. hadir dalam kongres tersebut sejumlah utusan dari
26 wilayah (Propinsi) dan 252 Cabang (Kabupaten) se-Indonesia. Hadir pula
menyampaikan amanat; Ketua MPRS Jenderal A.H.Nasution; Pejabat Presiden
Jenderal Soeharto; KH. Dr Idham Chalid (Ketua PBNU); H.M.Subchan ZE (Wakil
Ketua MPRS); H. Imron Rosyadi, SH (mantan Ketua Umum PP.GP Ansor) dan KH.Moh.
Dachlan (Ketua Dewan Partai NU dan Menteri Agama RI)Kongres kali ini merupakan moment paling
tepat untuk menjawab segala persoalan yang timbul di kalangan Ansor. Karena
itu, pembahasan dalam kongres akhirnya dikelompokan menjadi tiga tema pokok:
(1) penyempurnaan organisasi; (2) program perjuangan gerakan; dan (3) penegasan
politik gerakan. Penegasan Politik GerakanDalam kongres ini juga merumuskan
Penegasan Politik Gerakan sbb:(1) Menengaskan Orde Baru dengan beberapa
persyaratan: (a). membasmi komunisme, marxisme, dan leninisme. (b) menolak
kembalinya kekuasaan totaliter/Orde Lama, segala bentuk dalam manifestasinya.
(c) mempertahankan kehidupan demokrasi yang murni dan (d) mempertahankan
eksistensi Partijwezen;(2) Toleransi Agama dijamin oleh UUD 1945.
Dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kondisi daerah serta perasaan
penganut-penganut agama lain;(3) Mempertahankan politik luar negeri yang
bebas aktif, anti penjajahan dan penindasaan dalam menuju perdamaian dunia.Rumusan penegasan politik tersebut tentu
dilatarbelakangi kajian mendalam mengenai situasi politik yang berkembang saat
itu. Kajian atau analisis itu, juga mengantisipasi perkembangan berikutnya.
Memang begitulah yang dilakukan kongres. Perkara politik itu pula-lah yang
paling menonjol dalam kongres VII tersebut.Itulah sebabnya, dalam kongres itu
diputuskan: Bahwa GP Ansor memutuskan untuk ikut di dalamnya dalam penumpasan
sisa-sisa PKI yang bermotif ideologis dan strategis. Kepada yang bermotif
Politis. Ansor menghadapinya secara kritis dan korektif. Sedangkan yang
bermotif terror, GP.Ansor harus menentang dan berusaha menunjukkan
kepalsuannya.Atas dasar itulah, GP Ansor mendukung dan
ikut di dalamnya dalam operasi penumpasan sisa-sisa PKI di Blitar dan Malang
yang dikenal dengan operasi Trisula. Bahkan GP Ansor waktu itu sempat mengirim
telegram ucapan selamat kepada Pangdam VIII/Brawijaya atas suksenya operasi
tersebut. Ansor ikut operasi itu karena, operasi di kedua daerah tersebut
bermotif ideologis dan strategis.Sesungguhnya
kongres juga telah memperediksi sesuatu bentuk kekuasaan yang bakal timbul.
Karena itu, sejak awal Ansor telah menegaskan sikapnya: menolak kembalinya
pemerintahan tiran. Orde Baru ditafsirkan sebagai Orde Demokrasi yang bukan
hanya memberi kebebasan menyatakan pendapat melalui media pers atau
mimbar-mimbar ilmiah. Tapi, demokrasi diartikan sebagai suatu Doktrin
Pemerintahan yang tidak mentolerir pengendapan kekuasaan totaliter di suatu
tempat. Seperti kata Michael Edwards dalam buku Asian in the Balance, bahwa kecenderungan di Asia,
akan masuk liang kubur dan muncul authoritarianism.Pendeknya, demokrasi pada mulanya di salah
gunakan oleh pemegang kekuasaan yang korup hingga mendorong Negara ke arah
Kebangkrutan. Lalu, sebelum meledak bentrokan-bentrokan sosial, kaum militer
mengambil alih kekuasaan, dan dengan kekuasaan darurat itulah ditegakkan
pemerintahan otoriter. Begitulah kira-kira Michael Edwards. Masalah Toleransi
Agama, Selain masalah politik, kongres juga merumuskan pola kerukunan antar
umat beragama. Rumusan tersebut mengacu pada UUD 1945 yang menjamin toleransi
itu sendiri, dan dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kondisi daerah serta
perasaan penganut agama lain.Masalah toleransi agama di bahas serius
karena, pada waktu itu pertentangan agama sudah mulai memburuk. Bahkan
bentrokan fisik telah terjadi di mana-mana. Akibatnya timbul isu yang
mendiskreditkan Partai Islam dan Umat Islam. Isu yang paling keras pada waktu
itu adalah mendirikan Negara Islam. Sehingga, di berbagai daerah ormas Islam
maupun Partai Islam selalu dicurigai aparat keamanan. Dakwah-dakwah semakin di
batasi bahkan ada pula yang terpaksa di larang. Terakhir, malah dikeluarkan
garis kebijaksanaan di kalangan ABRI yang sangat merugikan partai Islam dan
Umat Islam. Dalam Kongres VII juga menyampaikan memorandum kepada pemerintah
mengenai masalah politik dan ekonomi. Dan isi dari memorandum tak lain adalah
manifestasi dari komitmen terhadap ideology Pancasila.1. C. Masa ReformasiMundurnya
Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat
dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan “Era Reformasi“.Masih
adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada
masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru
masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering
disebut sebagai “Era Pasca Orde Baru”.Berakhirnya rezim Orde Baru, telah membuka
peluang guna menata kehidupan demokrasi. Reformasi politik, ekonomi dan hukum
merupakan agenda yang tidak bisa ditunda. Demokrasi menuntut lebih dari sekedar
pemilu. Demokrasi yang mumpuni harus dibangun melalui struktur politik dan
kelembagaan demokrasi yang sehat. Namun nampaknya tuntutan reformasi politik,
telah menempatkan pelaksanan pemilu menjadi agenda pertama. Pemilu pertama di
masa reformasi hampir sama dengan pemilu pertama tahun 1955 diwarnai dengan kejutan
dan keprihatinan. Pertama, kegagalan partai-partai Islam meraih suara
siginifikan. Kedua, menurunnya perolehan suara Golkar. Ketiga, kenaikan
perolehan suara PDI P. Keempat, kegagalan PAN, yang dianggap paling reformis,
ternyata hanya menduduki urutan kelima. Kekalahan PAN, mengingatkan pada
kekalahan yang dialami Partai Sosialis, pada pemilu 1955, diprediksi akan
memperoleh suara signifikan namun lain nyatanya.Pemerintahan B.J HabibieSidang
Istimewa MPR yang mengukuhkan Habibie sebagai Presiden, ditentang oleh
gelombang demonstrasi dari puluhan ribu mahasiswa dan rakyat di Jakarta dan di
kota-kota lain. Gelombang demonstrasi ini memuncak dalam peristiwa Tragedi Semanggi,
yang menewaskan 18 orang. Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya
kerjasama dengan Dana
Moneter Internasional untuk
membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu, Habibie juga melonggarkan
pengawasan terhadap media massa dan kebebasan berekspresi.Presiden
BJ Habibie mengambil prakarsa untuk melakukan koreksi. Sejumlah tahanan politik
dilepaskan. Sri Bintang Pamungkas danMuchtar Pakpahan dibebaskan,
tiga hari setelah Habibie menjabat. Tahanan politik dibebaskan secara
bergelombang. Tetapi, Budiman Sudjatmiko dan beberapa petinggi Partai Rakyat Demokratik baru dibebaskan pada era Presiden
Abdurrahman Wahid. Setelah Habibie membebaskan tahanan politik, tahanan politik
baru muncul. Sejumlah aktivis mahasiswa diadili atas tuduhan menghina
pemerintah atau menghina kepala negara. Desakan meminta pertanggungjawaban
militer yang terjerat pelanggaran HAM tak bisa dilangsungkan karena kuatnya
proteksi politik. Bahkan, sejumlah perwira militer yang olehMahkamah Militer Jakarta
telah dihukum dan dipecat karena terlibat penculikan, kini telah kembali duduk
dalam jabatan struktural.Beberapa
langkah perubahan diambil oleh Habibie, seperti liberalisasi parpol, pemberian
kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan pencabutan UU Subversi. Walaupun
begitu Habibie juga sempat tergoda meloloskan UU Penanggulangan Keadaan
Bahaya, namun urung dilakukan karena besarnya tekanan politik dan
kejadian Tragedi Semanggi II yang menewaskan mahasiswa UI, Yun Hap. Kejadian penting dalam masa pemerintahan
Habibie adalah keputusannya untuk mengizinkan Timor Timur untuk mengadakan referendum yang berakhir dengan berpisahnya
wilayah tersebut dari Indonesia pada
Oktober 1999. Keputusan tersebut terbukti tidak populer di mata
masyarakat sehingga hingga kini pun masa pemerintahan Habibie sering dianggap
sebagai salah satu masa kelam dalam sejarah Indonesia.
Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya
adalah kembali mendapatkan dukungan dariDana
Moneter Internasional dan
komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga
membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan
berpendapat dan kegiatan organisasi.Walaupun pengesahan hasil Pemilu 1999
sempat tertunda, secara umum proses pemilu multi partai pertama di era
reformasi jauh lebih Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (Luber) serta adil dan
jujur dibanding masa Orde Baru. Hampir tidak ada indikator siginifikan yang menunjukkan
bahwa rakyat menolak hasil pemilu yang berlangsung dengan aman. Realitas ini
menunjukkan, bahwa yang tidak mau menerima kekalahan, hanyalah mereka yang
tidak siap berdemokrasi, dan ini hanya diungkapkan oleh sebagian elite politik,
bukan rakyat.Pemeintahan Abdurahman Wahid.Pemilu
untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni 1999.PDI Perjuangan pimpinan putri Soekarno, Megawati Sukarnoputrikeluar
menjadi pemenang pada pemilu parlemen dengan mendapatkan 34% dari seluruh
suara; Golkar (partai
Soeharto – sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya)
memperoleh 22%;Partai
Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai
Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%. Pada Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai presiden
dan Megawati sebagai wakil presiden untuk masa bakti 5 tahun. Wahid membentuk
kabinet pertamanya, Kabinet
Persatuan Nasional pada
awal November 1999 dan melakukan reshufflekabinetnya pada Agustus 2000.Pemerintahan
Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi dan perkembangan ekonomi di
bawah situasi yang menantang. Di samping ketidakpastian ekonomi yang terus
berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi konflik antar etnis dan antar agama,
terutama di Aceh, Maluku, dan Papua. Di Timor Barat, masalah
yang ditimbulkan rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal dan
kekacauan yang dilakukan para militan Timor Timur pro-Indonesia mengakibatkan
masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR yang semakin memberikan
tekanan menantang kebijakan-kebijakan Presiden Wahid, menyebabkan perdebatan
politik yang meluap-luap.Pemerintahan Megawati soekarno putriPada
Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan laporan
pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari2001, ribuan demonstran menyerbu MPR dan meminta
Presiden agar mengundurkan diri dengan alasan keterlibatannya dalam skandal
korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk memperbaiki manajemen dan koordinasi
di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan keputusan presiden yang memberikan
kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil presiden Megawati. Megawati mengambil
alih jabatan presiden tak lama kemudian. Pemerintahan Susilo Bambang YudoyonoPemilu
2004, merupakan pemilu kedua dengan dua agenda, pertama memilih anggota
legislatif dan kedua memilih presiden. Untuk agenda pertama terjadi kejutan,
yakni naiknya kembali suara Golkar, turunan perolehan suara PDI-P, tidak
beranjaknya perolehan yang signifikan partai Islam dan munculnya Partai
Demokrat yang melewati PAN. Dalam pemilihan presiden yang diikuti lima kandidat
(Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarno Putri, Wiranto, Amin Rais dan
Hamzah Haz), berlangsung dalam dua putaran, telah menempatkan pasangan SBY dan
JK, dengan meraih 60,95 persen.Susilo Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden baru
Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal masa kerjanya telah menerima berbagai
cobaan dan tantangan besar, seperti gempa
bumi besar di Aceh dan Nias pada
Desember 2004 yang meluluh lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa
bumi lain pada awal 2005 yang
mengguncang Sumatra.Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil dicapai
antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang bertujuan mengakhiri konflik
berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah Aceh. Atas prestasi SBY yang di tanam sejak tahun 2004
telah mengantar beliau naik kembali duduk di kursi presiden dengan pasanganya
pak Budiono pada pemilu tahun 2009, kinerja mereka pun belum dapat dirasakan
dengan maksimal. PenutupSistem presidensial tidak mengenal adanya
lembaga pemegang supremasi tertinggi. Kedaulatan negara dipisahkan (separation
of power) menjadi tiga cabang kekuasaan, yakni legislatif, eksekutif, dan
yudikatif, yang secara ideal diformulasikan sebagai ”Trias Politica” oleh
Montesquieu. Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk
masa kerja yang lamanya ditentukan konstitusi. Konsentrasi kekuasaan ada pada
presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Dalam sistem
presidensial para menteri adalah pembantu presiden yang diangkat dan
bertanggung jawab kepada presiden. Bentuk MPR sebagai majelis
permusyawaratan-perwakilan dipandang lebih sesuai dengan corak hidup
kekeluargaan bangsa Indonesia dan lebih menjamin pelaksanaan demokrasi politik
dan ekonomi untuk terciptanya keadilan sosial,dan sebagai ciri demokrasi
Indonesia. Dalam struktur pemerintahan negara, MPR berkedudukan sebagai supreme
power dan penyelenggara negara yang tertinggi. Presiden menjalankan tugas MPR
sebagai kekuasaan eksekutif tertinggi, sebagai mandataris MPR. Sebagai
penjelmaan rakyat dan merupakan pemegang supremasi kedaulatan, MPR adalah
penyelenggara pemerintahan negara tertinggi, “pemegang” kekuasaan eksekutif dan
legislatif. DPR adalah bagian MPR yang menjalankan kekuasaan legislatif,
sedangkan presiden adalah mandataris yang bertugas menjalankan kekuasaan
eksekutif. Bersama-sama, DPR dan presiden menyusun undang-undang. DPR dan
presiden tidak dapat saling menjatuhkan seperti pada sistem parlementer maupun
presidensial. Sistem presidensial dipandang mampu menciptakan pemerintahan
negara berasaskan kekeluargaan dengan stabilitas dan efektifitas yang
tinggi. Sehingga para anggota legislatif bisa lebih independent dalam membuat
UU karena tidak khawatir dengan jatuh bangunnya pemerintahan.Sistem
presidensial mempunyai kelebihan dalam stabilitas pemerintahan, demokrasi yang
lebih besar dan pemerintahan yang lebih terbatas. Adapun kekurangannya,
kemandekan (deadlock) eksekutif-legislatif, kekakuan temporal, dan pemerintahan
yang lebih eksklusif. Secara konstitusional, DPR mempunyai peranan untuk
menyusun APBN, mengontrol jalannya pemerintahan, membuat undang-undang dan
peranan lain seperti penetapan pejabat dan duta. Presiden tak lagi bertanggung
jawab pada DPR karena ia dipilih langsung oleh rakyat. DPR tak akan mudah
melakukan impeachment lagi karena ada MK.2. ANALISIS
KELEBIHAN DAN KELEMAHAN PEMILUKADA SERTA MASA DEPAN PEMILUKADA DI INDONESIA
BAB IPENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, wilayah kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah
provinsi dan daerah provinsi dibagi lagi atas daerah kabupaten dan kota,
yang masing-masing sebagai daerah otonomi. Sebagai daerah otonomi, daerah
provinsi, kabupaten/kota memiliki pemerintahan daerah yang melaksanakan,
fungsi-fungsi pemerintahan daerah, yakni Pemerintahan Daerah dan DPRD.
Kepala Daerah adalah Kepala Pemerintahan Daerah baik didaerah provinsi, maupun
kabupaten/kota yang merupakan lembaga eksekutif di daerah, sedangkan DPRD,
merupakan lembaga legislatif di daerah baik di provinsi, maupun kabupaten/kota.
Kedua-duanya dinyatakan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan
di daerah (Pasal 40 UU No. 32/2004) .Sejalan dengan semangat desentralisasi, sejak tahun 2005 Pemilu
Kepala Daerah dilaksanakan secara langsung (Pemilukada/Pilkada). Semangat
dilaksanakannya pilkada adalah koreksi terhadap system demokrasi tidak langsung
(perwakilan) di era sebelumnya, dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah
dipilih oleh DPRD, menjadi demokrasi yang berakar langsung pada pilihan
rakyat (pemilih). Melalui pilkada, masyarakat sebagai pemilih berhak untuk
memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya,
tanpa perantara, dalam memilih kepala daerah.Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah diterapkan
prinsip demokrasi. Sesuai dengan pasal 18 ayat 4 UUD 1945, kepala daerah
dipilih secara demokratis. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah, diatur mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang
dipilih secara langsung oleh rakyat, yang diajukan oleh partai politik atau
gabungan parpol. Sedangkan didalam perubahan UU No. 32 Tahun 2004, yakni UU
No.12 Tahun 2008, Pasal 59 ayat 1b, calon kepala daerah dapat juga diajukan
dari calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Secara ideal tujuan
dari dilakukannya pilkada adalah untuk mempercepat konsolidasi demokrasi di
Republik ini. Selain itu juga untuk mempercepat terjadinyagood governance karena rakyat bisa terlibat langsung
dalam proses pembuatan kebijakan. Hal ini merupakan salah satu bukti dari telah
berjalannya program desentralisasi. Daerah telah memiliki otonomi untuk
mengatur dirinya sendiri , bahkan otonomi ini telah sampai pada taraf otonomi
individu.Selain semangat tersebut, sejumlah argumentasi dan asumsi yang
memperkuat pentingnya pilkada adalah: Pertama, dengan Pilkada dimungkinkan
untuk mendapatkan kepala daerah yang memiliki kualitas dan akuntabilitas.
Kedua, Pilkada perlu dilakukan untuk menciptakan stabilitas politik dan
efektivitas pemerintahan di tingkat lokal. Ketiga, dengan Pilkada terbuka
kemungkinan untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan nasional karena makin
terbuka peluang bagi munculnya pemimpin-pemimpin nasional yang berasal dari
bawah dan/atau daerah.Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004, mengenai Pilkada
yang dipilih langsung oleh rakyat, telah banyak menimbulkan persoalan,
diantaranya waktu yang sangat panjang, sehingga sangat menguras tenaga
dan pikiran, belum lagi biaya yang begitu besar, baik dari segi politik (issue
perpecahan internal parpol, issue tentang money politik, issue kecurangan dalam
bentuk penggelembungan suara yang melibatkan instansi resmi), sosial (issue tentang
disintegrasi social walaupun sementara, black campaign dll.) maupun
finansial. Hal ini kita lihat pada waktu pemilihan kepala daerah di
sejumlah daerah seperti di Sulawesi Selatan dan Jawa Timur. Di Sulsel,
pemilihan gubernur langsung diselenggarakan sebanyak dua putaran karena
ketidakpuasan salah satu calon atas hasil penghitungan suara akhir.Masalah pemenangan Pilkada mengandung latar belakang
multidimensional. Ada yang bermotif harga diri pribadi (adu
popularitas); Ada pula yang bermotif mengejar kekuasaan dan kehormatan; Terkait
juga kehormatan Parpol pengusung; Harga diri Ketua Partai Daerah yang
sering memaksakan diri untuk maju. Di samping tentu saja ada yang mempunyai
niat luhur untuk memajukan daerah, sebagai putra daerah. Dalam kerangka motif
kekuasaan bisa difahami, karena “politics is the struggle over allocation of
values in society” (Politik merupakan perjuangan untuk memperoleh alokasi
kekuasan di dalam masyarakat). Pemenangan perjuangan politik seperti
pemilu legislative atau pilkada eksekutif sangat penting untuk mendominasi
fungsi-fungsi legislasi, pengawasan budget dan kebijakan dalam proses
pemerintahan (the process of government). Dalam kerangka ini cara-cara
“lobbying, pressure, threat, batgaining and compromise” seringkali
terkandung di dalamnya.Namun dalam Undang-undang tentang Partai Poltik UU No.
2/2008, yang telah dirubah dengan UU No. 2 Tahun 2011, selalu dimunculkan
persoalan budaya dan etika politik. Masalah lainnya sistem perekrutan calon KDH
(Bupati, Wali kota, Gubernur) bersifat transaksional, dan hanya orang-orang
yang mempunyai modal financial besar, serta popularitas tinggi, yang dilirik
oleh partai politik, serta beban biaya yang sangat besar untuk memenangkan
pilkada/pemilukada, akibatnya tidak dapat dielakan maraknya korupsi di daerah,
untuk mengembalikan modal politik sang calon,serta banyak Perda-Perda yang
bermasalah,dan memberatkan masyarakat dan iklim investasi. Berdasarkan latar
belakang tersebut, maka disusunlah sebuah makalah yang berjudul, “ANALISIS
KELEBIHAN DAN KELEMAHAN PEMILUKADA SERTA MASA DEPAN PEMILUKADA DI DI INDONESIA”.
Makalah ini disusun bertujuan untuk menganalisis kelebihan dan kelemahan
pelaksaanan Pemilikada, serta menganalisis masa depa pelaksanaan Pemilukada
secara langsung di Indonesia. B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis membuat rumusan
masalah sebagai berikut :1. Apa
saja kelebihan pelakasanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) secara
langsung di Indonesia ?2. Apa
saja kelemahan pelakasanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) secara
langsung di Indonesia ?3. Bagaimana
masa depan pelakasanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) secara
langsung di Indonesia ?C. TUJUAN PENULISAN Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka penulisan makalah
ini bertujuan untuk :1. Menganalisis
kelebihan pelakasanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) secara
langsung di Indonesia.2. Menganalisis
kelemahan pelakasanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) secara
langsung di Indonesia.3. Menganalisis
masa depan pelakasanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) secara
langsung di Indonesia. D. MANFAAT PENULISAN 1. Bagi
PenulisPenulisan makalah yang berjudul, “ANALISIS KELEBIHAN DAN
KELEMAHAN PEMILUKADA SERTA MASA DEPAN PEMILUKADA DI DI INDONESIA”, disusun sebagai salah satu pemenuhan Tugas UKD
4 Pemerintahan daerah dan Desa/
Semester 5 (lima) Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Surakarta
yang diampu oleh Rima Vien, PH, SH, MH.2. Bagi
PembacaMakalah ini diharapkan dapat menambah referensi pustaka bagi
pembaca dalam mengkaji permasalah Pemerintahan Daerah dan Desa berkaitan dengan
pelaksanan pemilihan umum kepala daerah (Pemiluka) secara langsung, khususnya
kelebihan dan kelemahan, serta masa depan Pemilukada di Indonesia. BAB IIPEMBAHASAN A. KAJIAN PUSTAKA Pelaksanaan pemilu kepala daerah atau disingkat pemilukada
langsung tentunya tidak lepas dari adanya terobosan politik dalam pemberian
otonomi kepada daerah berdasarkan UU No. 32 tahun 2004. Pemberian otonomi ini
memiliki korelasi perspektif dengan teori-teori dasar tentang desentralisasi
dan politik lokal.Desentralisasi secara umum dapat dilihat dalam dua perspektif
yaitu administratif dan politik. Berdasarkan perspektif administratif,
desentralisasi didefinisikan sebagai the transfer of administrative responsibilitiy
from central to local government (Romli, 2005). Artinya dalam perspektif
otonomi daerah yang berlaku di Indonesia, desentralisasi administratif ini
diartikan sebagai pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah. Sedangkan perspektif politik, Smith mengatakan desentralisasi sebagai
the transfer of power, from top levelto lower level, in a territorial
hierarchy, which could be one of goverments within a state, or office within a
large organization. Dalam pandangan yang lain Mawhood mengatakan bahwa
desentralisasi politik adalah devolution of power from central government to
local government. Mawhood juga meletakkan konteks desentralisasi politik
sebagai esensi dasar otonomi bagi daerah yaitu a freedom which is assumed by
local government in both making and implementing its own decision (Prasojo et
all, 2006).[1]Dalam konteks negara kesatuan, otonomi yang diberikan oleh
daerah bukanlah suatu bentuk kebebasan yang bersifat asli, melainkan merupakan
pemberian dari pemerintah pusat. Konteks pemberian otonomi oleh pemerintah
pusat ini sangat terkait dengan kontruksi bentuk Negara dan pembagian kekuasaan
yang ada di dalamnya.Secara teoritis dalam perspektif praktek ketatanegaraan yang
ada, terdapat dua macam bentuk negara dalam kaitannya dengan pembagian
kekuasaan secara vertikal, yaitu negara kesatuan dan negara federal. Kedua
bentuk negara ini dapat dibedakan satu sama lain berdasarkan kepada dimensi:
(1) Karakter dasar yang dimiliki oleh struktur pemerintahan regional/lokalnya,
(2) Proses pembentukan struktur pemerintahan regionalnya, (3) Sifat hubungan
antara struktur pusat dan struktur regional, (4) Keberadaan Konstitusi, dan (4)
Derajat kemandirian yang dimiliki oleh struktur regional (Prasojo et. All,
2006). 1Dalam pembahasan ini, hanya akan dijabarkan tiga dimensi pembeda
saja melihat konteksnya yang berhubungan erat dengan desentralisasi politik.
Dalam dimensi karakter dasar pemerintah, pemerintah daerah dalam negara
kesatuan tidak memiliki karakter soverenitas (kedaulatan), sedangkan negara
bagian dalam negara federal merupakan struktur asli yang memiliki karakter kedaulatan.
Kusnardi dan Ibrahim (1988) menyebutkan bahwa negara federal, negara-negara
bagian mempunyai wewenang untuk membuat undang-undang dasarnya sendiri dan
dapat menentukan organisasinya masingmasing dalam batas-batas yang tidak
bertentangan dengan konstitusi dari negara federal seluruhnya. Sedangkan dalam
negara kesatuan, organisasi dan kewenangan membuat undang-undang ditentukan
oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan pelaksana kebijakan
pemerintah pusat dalam sistem desentralisasi.Dalam dimensi proses pembentukan struktur pemerintahan,
pemerintahan daerah di Negara kesatuan dibentuk oleh pemerintah pusat melalui
undang-undang, dan dapat dimekarkan, diciutkan dan atau dibubarkan kembali
melalui undang-undang. Pemerintahan daerah di Negara kesatuan adalah bentukan
pusat. Sebaliknya, di negara federal, pemerintahan negara bagian merupakan
struktur asli yang telah ada sebelum struktur federal terbentuk. Bahkan
pembentukan struktur federal merupakan kesepakatan yang terjadi antara
negara-negara bagian. Dapat dikatakan bahwa struktur federal di dalam negara
federal dibentuk oleh negaranegara bagian melalui konstitusi (Prasojo et. All,
2006). 1Dalam dimensi hubungan antara struktur pemerintahan, sifat
hubungan antara struktur pusat dan struktur regional/daerah dalam negara
kesatuan adalah subordinatif sedangkan dalam negara federal bersifat
koordinatif. Subordinatif dalam pengertian bahwa pemerintahan daerah adalah
bentukan dan bawahan dari pemerintahan pusat. Sedangkan sifat koordinatif
antara struktur negara bagian dan struktur federal dalam negara federal
menunjukkan kedudukan yang sama.
Oleh karena pemerintahan daerah dalam negara kesatuan dibentuk oleh pemerintah
pusat dan menjadi subordinasi, maka derajat kemandirian sebagai yang dimiliki
oleh pemerintahan daerah sangat terbatas. Bila pemerintah pusat menghendaki
penarikan kewenangan yang sudah diserahkan kepada satu pemerintahan daerah, maka
hal tersebut dapat dengan mudah dilakukan. Sebaliknya derajat kemandirian
negara bagian dalam negara federal dapat dikatakan sangat besar, karena
kedudukannya dijamin dalam konstitusi. Dalam konteks pembagian wewenang, dalam
negara federal, wewenang pembuat undang-undang pemerintah federal ditentukan
secara rinci, sedangkan wewenang lainnya ada pada negara-negara bagiannya. Pada
negara kesatuan, wewenang terperinci ada pada pemerintah daerah, sedangkan
kewenangan sisanya (residual power) ada pada pemerintah pusat (Kusnardi dan
Ibrahim,1988).[2]Pelaksanaan pemilukada langsung yang saat ini ada merupakan
bentuk penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah untuk memilih
secara langsung kepala daerahnya,sehingga konteks aturan yang berlaku dalam
pilkada merupakan jabaran atau turunan dari aturan yang berlaku dalam
ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Dalam
perspektif desentralisasi politik, dengan adanya pilkada maka kekuasaan tidak
lagi terkonsentrasikan pada pemerintah pusat, tetapi dapat didistribusikan
kepada daerah-daerah. Dengan demikian, daerah memiliki posisi yang jauh lebih
kuat untuk mengatur dan menentukan urusan rumah tangganya sendiri sesuai
kewenangan yang dimilikinya.Dalam perspektif ini pula, maka menjadi hal wajar apabila
pemberikan desentralisasi politik dan pelaksanaan pilkada ini berada dalam
ranah pemerintahan daerah, karena konteks sistemik dari pemberian kekuasaan
kepada daerah untuk memiliki pemimpin daerah sendiri secara langsung merupakan
pemberian dari pemerintah pusat. Selain itu pula dalam konteks bingkai negara
kesatuan yang dipilih menjadi bentuk negara berdasarkan konstitusi ini harus
tetap menjaga keterpautan yang kuat antara hubungan pusat dan daerah. Mengingat
pergolakan arus gerakan antara putaran sentrifugal dan sentripetal yang menarik
hubungan daerah ke dalam lingkaran pusat dan sebaliknya, harus dijaga
dinamisasinya agar tidak saling tertarik terlalu dalam antara salah satu arus
tersebut.Pimilukada lokal adalah implikasi dari desentralisasi yang
dijalankan di daerah-daerah sebagai perwujudan dari proses demokrasi di Indonesia.
Konsepnya mengandaikan pemerintahan itu dari, oleh dan untuk rakyat. Hal paling
mendasar dalam demokrasi adalah keikutsertaan rakyat, serta kesepakatan bersama
atau konsensus untuk mencapai tujuan yang dirumuskan bersama. Perkembangan
desentralisasi menuntut adanya proses demokrasi bukan hanya di tingkat regional
tetapi di tingkat lokal.Pilkada di Indonesia pasca Orde Baru hampir selalu dibicarakan
secara berkaitan dengan pembentukan sistem politik yang mencerminkan prinsip
keterwakilan, partisipasi, dan kontrol. Oleh karenanya, pemerintahan yang
demokratis mengandaikan pemisahan kekuasaan dalam tiga wilayah institusi yaitu
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Suatu pemerintahan dikatakan demokratis
jika terdapat indikator utama yaitu keterwakilan, partisipasi dan kontrol
terhadap penyelenggaraan pemerintahan oleh ketiga institusi tersebut. Prinsip
partisipasi menjamin aspek keikutsertaan rakyat dalam proses perencanaan
pembangunan daerah; atau keikutsertaan rakyat dalam proses pemilihan wakil
dalam lembaga politik; sedangkan prinsip kontrol menekankan pada aspek
akuntabilitas pemerintahan. Dalam demokrasi, aspek kelembagaan merupakan
keutamaan dari berlangsungnya praktik politik yang demokratis, sehingga,
terdapat partai politik, pemilihan umum dan pers bebas. Sedangkan, istilah ‘
lokal’ mengacu kepada ‘arena’ tempat praktek demokrasi itu berlangsung.Di Indonesia, saat
ini pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah
administratif setempat yang memenuhi syarat. Pemilihan kepala
daerah dilakukan satu paket bersama dengan wakil kepala daerah. Kepala daerah
dan wakil kepala daerah yang dimaksud mencakup: Gubernur dan wakil gubernur
untuk provinsi; Bupati dan wakil bupati untuk kabupaten; Wali kota dan wakil wali kota
untuk kota.[3] Kepala
daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara
demokratis berdasarkan asas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.[4]Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah
dipilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sejak berlakunya Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentangPemerintahan Daerah,
kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada. Pilkada
pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005.Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga
secara resmi bernama Pemilihan umumKepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah atau disingkat Pemilukada. Pemilihan kepala daerah pertama
yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada
DKI Jakarta 2007.Pada tahun 2011, terbit undang-undang baru mengenai
penyelenggara pemilihan umum yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011. Di dalam
undang-undang ini, istilah yang digunakan adalah Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Wali Kota.[5]PenyelenggaraPilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan
Umum (KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi
oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu)
Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota. Khusus di Aceh,
Pilkada diselenggarakan oleh Komisi
Independen Pemilihan (KIP) dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Aceh (Panwaslih
Aceh).PesertaBerdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta pilkada
adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang
menyatakan bahwa peserta pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon
perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Undang-undang ini
menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang
membatalkan beberapa pasal menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004. Khusus di Aceh, peserta Pilkada juga dapat diusulkan oleh partai
politik lokal B. PEMBAHASAN 1. Analisis
Kelebihan Pemilukada Banyak permasalahan baik dari implikasi politik maupun dampak
sosial ekonomi baik yang menguntungkan maupun tidak. Ada beberapa keunggulan
pilkada dengan model pemilihan secara langsung.[6]Pertama, pilkada secara langsung memungkinkan proses yang lebih
Partisipasi. Partisipasi jelas akan membuka akses dan kontrol masyarakat yang
lebih kuat sebagai aktor yang telibat dalam pilkada dalam arti partisipasi
secara langsung merupakan prakondisi untuk mewujudkan kedaulatan ditangan
rakyat dalam konteks politik dan pemerintahan.
Kedua, proses pilkada secara langsung memberikan ruang dan
pilihan yang terbuka bagi masyarakat untuk menentukan calon pemimpin yang
memiliki kapasitas, dan komitmen yang kuat serta legitimate dimata masyarakat sehingga pemimpin
yang baru tersebut dapat membuahkan keputusan-keputusan yang lebih baik dengan
dukungan dan kepercayaan dari masyarakat luas dan juga diharapkan akan
terjadinya rasa tanggung jawab secara timbal balik. Sang kepala daerah lebih
merasa mendapatkan dukungan dari masyarakat, sehingga kebijakan-kebijakan tentu
saja lebih berpihak pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat. pada saat yang
sama, rakyat juga akan lebih mendukung kebijakan-kebijakan kepala daerah sebab
mereka telah berperan secara langsung dalam pengangkatan kepala daerah.
Ketiga, mendekatkan elit politik dengan konstituen atau
masyarakat. Diharapkan dengan pemilihan seperti ini mayarakat akan lebih
mengenal pemimpin mereka di daerah sehingga akan memudahkan proses komunikasi
politik di daerah.[7] Keempat, lebih terdesenralisasi. Berbeda dengan pemilihan
kepala daerah sebelumnya, pemilihan kepala daerah dilakukan pemerintah pusat
dengan cara menunjuk atau menetapkan aktor politik untuk menempati jabatan
politik di daerah.7 Kelebihan diadakannya pilkada langsung adalah kepala daerah
terpilih akan memiliki mandat dan legitimasi yang samngat kuat, kepala daerah
terpilih tidak perlu terikat pada konsesi partai-partai atau faksi-faksi
politik yang telah mencalonkannya, sistem pilkada langsung lebih akuntabel
karena adanya akuntabilitas politik, Check
and balances antara lembaga
legislatif dan eksekutif dapat lebih berjalan seimbang, kriteria calon kepala
daerah dapat dinilai secara langsung oleh rakyat yang akan memberikan suaranya,
pilkada langsung sebagai wadah pendidikan politik rakyat, kancah pelatihan dan
pengembangan demokrasi, pilkada langsung sebagai persiapan untuk karir politik
lanjutan, membangun stabilitas poilitik dan mencegah separatisme, kesetaraan
politik dan mencegah konsentrasi di pusat.Beberapa kelebihan dalam penyelenggaraan
pilkada langsung antara lain sebagai berikut :a. Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena
pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepala desa selama ini
telah dilakukan secara langsung.b. Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti
telah diamanatkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati dan Wali Kota,
masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota
dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU No 32 Tahun 2005
tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah.c. Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi
rakyat. Ia menjadi media
pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk
kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin
yang benar sesuai nuraninya.d. Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah.
Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal.
Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam pilkada langsung 2005, maka
komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan
kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan.e. Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi
kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional amat
terbatas. Dari jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta, jumlah
pemimpin nasional yang kita miliki hanya beberapa. Mereka sebagian besar para
pemimpin partai politik besar yang memenangi Pemilu 2004. Karena itu, harapan
akan lahirnya pemimpin nasional justru dari pilkada langsung ini. 2. Analisis
Kelemahan Pemilukada Menurut Leo Agustino ada sebelas (11) permasalahan pemilukada di
Indonesia[8], yaitu :a. Daftar
Pemilih tidak akuratPermasalahan daftar pemilih yang tidak akurat dalam Pilkada,
sering dijadikan oleh para pasangan calon yang kalah untuk melakukan
gugatan. Berdasar Pasal 47 UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu
menyebutkan bahwa PPS mempunyai tugas dan wewenang antara lain mengangkat
petugas pemutakhiran data pemilih dan membantu KPU, KPU Provinsi, KPU
Kabupaten/Kota, PPK melakukan pemutakhiran data pemilih, daftar pemilih
sementara, daftar pemilih hasil perbaikan, dan daftar pemilih tetap. Melalui
pengaturan ini jika dalam pemutakhiran data pemilih, melibatkan RT/RW sebagai
petugas pemutakhiran, maka permasalahan data pemilih yang tidak akurat akan
dapat diminimalisir, karena RT/RW adalah lembaga yang paling mengetahui
penduduknya.b. Persyaratan
Calon tidak lengkapProses pencalonan yang bermasalah Permasalahan dalam pencalonan
yang selama ini terjadi disebabkan oleh 2 (dua) hal yaitu konflik internal
partai politik/gabungan partai politik dan keberpihakan para anggota KPUD
dalam menentukan pasangan calon yang akan mengikuti Pilkada. Secara yuridis
pengaturan mengenai pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diatur
dalam pasal 59 sampai dengan pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dari
beberapa pasal tersebut memberikan kewenangan yang sangat besar kepada KPUD
dalam menerima pendaftaran, meneliti keabsahan persyaratan pencalonan dan
menetapkan pasangan calon, yang walaupun ada ruang bagi partai politik atau
pasangan calon untuk memperbaiki kekurangan dalam persyaratan adminitrasi,
namun dalam praktek beberapa kali terjadi pada saat penetapan pasangan calon
yang dirugikan. Pasal 59 ayat (5) huruf
a Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 menyatakan bahwa partai politik atau gabungan partai
politik pada saat mendaftarkan pasangan calon,
wajib menyerahkan surat pencalonan yang
ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau pimpinan partai
politik yang bergabung. Dalam tahapan ini kadang terjadi permasalahan di
internal partai politik, ketika calon yang diajukan oleh pimpinan partai
politik setempat berbeda dengan calon yang direkomendasikan oleh
DPP partai politik. Dalam permasalahan
ini karena pimpinan partai politik setempat tidak melaksanakan
rekomendasi DPP partai politik, kemudian diberhentikan sebagai pimpinan partai
politik di wilayahnya dan menunjuk pelaksana tugas pimpinan partai politik
sesuai wilayahnya yang kemudian juga meneruskan rekomendasi calon Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah namun ditolak KPUD dengan alasan partai politik
tersebut melalui pimpinan wilayahnya yang lama telah mengajukan pasangan calon.
Pasal 61 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan
bahwa penetapan dan pengumuman pasangan calon oleh KPUD bersifat
final dan mengikat. Dalam hal KPUD tidak netral, ketentuan ini kadang
disalahgunakan untuk menggugurkan pasangan
calon tertentu tanpa dapat
melakukan pembelaan, karena tidak ada ruang bagi pasangan calon yang dirugikan
untuk melakukan pengujian atas tindakan KPUD yang tidak netral melalui
pengadilan. Untuk mengatasi kekurangan ini, ke depan perlu pasangan calon perlu
diberi ruang untuk mengajukan keberatan ke pengadilan, jika dalam proses pencalonan
dirugikan KPUD.c. Pencalonan
Pasangan dari parpolPermasalahan internal parpol dalam menentukan pasangan calon
membuat Pilkada terhambat. Hal itu disebabkan, adanya kepengurusan ganda,
proses seleksi tidak transparan, adanya intervensi pengurus pusat/provinsi,
tidak menetapkan pasangan seperti kasus di Sampang, Jatim.d. Penyelenggara
atau KPUD tidak netralFaktor yang mempengaruhi ketidaknetralan KPUD berdasarkan faktor
kedekatan dan kekerabatan degan salah satu pasangan. Selain itu, tidak adanya
pengadilan yang mengkoreksi keputusan KPUD sehingga sangat dominan kekeuasaan
penyelenggara pemilikada.e. Panwas
pilkada dibentuk terlambatTerlambatnya panitia pengawas (Panwas) oleh DPRD, sehinggat
tidak dapat mengawasi tahapan pemilukada secara keseluruhan. Berbagai
penyimpangan pada persiapan sering tidak dilanjuti, karena Panwas dibentuk
menjelang masa kampanye.f. Money
politikSepertinya money politik ini selalu saja menyertai dalam setiap
pelaksanaan pilkada.Dengan memanfaatkan masalah
ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah, maka dengan mudah mereka dapat
diperalat dengan mudah. Contoh yang nyata saja yaitu di lingkungan desa
Karangwetan, Tegaltirto, Berbah, Sleman, juga terjadi hal tersebut. Yaitu salah
satu dari kader bakal calon membagi bagikan uang kapada masyarakat dengan
syarat harus memilih bakal calon tertentu. Tapi memang dengan uang dapat
membeli segalanya. Dengan masih rendahnya tingkat pendidikan seseorang maka
dengan mudah orang itu dapat diperalat dan diatur dengan mudah hanya karena
uang. Jadi sangat rasional sekali
jika untuk menjadi calon kepala daerah harus mempunyai uang yang banyak. Karena untuk biayaini, biaya itu.g. Dana
kampayeSumber dana pasangan sering tidak transparan. Hasil audit dana
kampanye baik perorangan atau perusahan sering tidak diumumkan ke publik. Hal
itu menimbulkan kecurigaan publik, bahwa dana kampanye pasangan berasal dari
dana korupsi atau sumbangan yang dikemudian hari pasangan tersebut, maka
pemberi sumbangan akan menadpat imbalan berupa jabatan atau proyek-proyek
pemerintah.h. Mencuri
start kampayeTindakan ini paling sering terjadi. Padahal
sudah sangat jelas aturan-aturan yang berlaku dalam pemilu tersebut. Berbagai
cara dilakukan seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran. Sering juga untuk
bakal calon yang merupakan kepala daerah saat itu melakukan kunjungan
keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi ketika mendekati
pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika sedang memimpin dulu. Selain itu
media TV lokal sering digunakan sebagi media kampanye. Bakal calon menyampaikan
visi misinya dalam acara tersebut padahal jadwal pelaksanaan kampanye belum
dimulai.i. PNS tidak netralDalam berbagai
kampanye masih ditemukan PNS yang memihak pasangan tertentu, terutam incumbent(petahana). Dilain
pihak calon incumbent memanfaatkan staf Pemda untuk
kepentingan kampanyenya, bila tidak menuruti akan diturunkan jabatanya atau
bahkan diberhentikan.j. Pelanggaran kampanyePelanggaran kampanye dapat berbagai macam bentuk, salah satu
yang menjadi sorotan yaitu kampanye hitam seperti yang menimpa Jokowi Pada
pemilukada Jakarta 2012. Kampanye negatif ini dapat timbul karena kurangnya sosialisasi bakal calon
kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan sebagian masyarakat masih kurang
terhadap pentingnya informasi. Jadi mereka hanya “manut” dengan orang yang di
sekitar mereka yang menjadi panutannya. Kampanye negatif ini dapat mengarah
pada munculnya fitnah yang dapat merusak integritas daerah tersebutPengaturan mengenai kampanye secara yuridis diatur dalam pasal
75 sampai dengan pasal 85 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu meliputi
pengaturan mengenai teknis kampanye, waktu pelaksanaan, pelaksana kampanye,
jadwal kampanye, bentuk dan media kampanye, dan larangan-larangan selama
pelaksanaan kampanye. Kandidat dan tim kampanyenya cenderung mencari celah
pelanggaran yang menguntungkan dirinya.Pasal 75 ayat (2) berbunyi dimaksud pada ayat (1) dilakukan selama
14 (empat belas) hari dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan
suara", dengan terbatasnya waktu untuk kampanye maka sering terjadi curi
start kampanye dan kampanye diluar waktu yang telah ditetapkan. Kampanye yang
diharapkan dapat mendorong dan memperkuat pengenalan pemilih terhadap calon
kepala daerah agar pemilih mendapatkan informasi yang lengkap tentang semua
calon, menjadi tidak tercapai. Untuk itu ke depan perlu pengaturan masa
kampanye yang cukup dan peningkatan kualitas kampanye agar dapat mendidik
pemilih untuk menilai para calon dari segi program.k. Intervensi
DPRDPada umumnya terjadi apabila DPRD tidak setuju akan pasangan
terpilih dengan berbagai alasan. DPRD tidak mengirim berkas pemilihan kepada
Gubernur dan Mendagri, hal itu menghambat pelantikan pasamgan terpilih. Hal itu
pernah terjadi di Gorontalo dan Aceh. Peran
DPRD dalam Pilkada juga dapat memicu konflik. Pilkada memang sepenuhnya
dilaksanakan oleh KPU Daerah, tetapi pertanggungjawabannya harus disampaikan
kepada DPRD, seperti yang tertulis pada pasal 66 ayat 3 poin, bahwa tugas dan
wewenang DPRD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah adalahmeminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas
KPUD. Dalam hal ini, kerja KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) berpotensi
diintervensi oleh partai politik yang mempunyai kekuatan di DPRD. Sebab,
sejalan dengan kewenangan yang besar dalam proses-proses politik lokal, partai
politik berpotensi mengintervensi fungsi KPUD, jika kerja KPUD dianggap tidak menguntungkannya. Selain kesebelas kelemahan pemilukada secara langsung di
Indonesia, masih terbadapat banyak kelemahan, antar lain :· Manipulasi
perhitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara dapat terjadi di
setiap tingkatan, yaitu di KPPS, PPK, KPU Kabupaten, dan KPU Provinsi.
Permasalahan penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara akan
manipulasi, disebabkan oleh banyaknya TPS yang tersebar dalam wilayah yang
luas. Dengan banyaknya TPS yang tersebar luas membuat para pasangan calon sulit
mengontrolnya karena memerlukan saksi yang banyak dan biaya besar. Di lain
pihak para penyelenggara Pilkada di beberapa daerah tidak netral, berhubung
sistem seleksi anggota KPUD tidak belum memadai. Hal itu, memunculkan konflik
pasca pilkada. Munculnya konflik pasca pilkada dapat terjadi akibat
kecurangan-kecurangan pada saat seperti, kempanye, manipulasi data berupa
penggelembungan suara dan rasa tidak puas akibat calon idaman kalah.
· Dalam pelaksanaan pilkada di lapangan banyak sekali ditemukan penyelewengan
penyelewengan. Kecurangan ini dilakukan oleh
para bakal calon seperti : Intimidasi.
Sebagai contoh yaitu pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga
agar mencoblos salah satu calon. Hal ini sangat menyeleweng dari aturan
pelaksanaan pemilu.· Beratnya persyaratan pengajuan calon. Dalam UU No. 32 tahun
2004 Pasal 59 ayat 2 disebutkan bahwa hanya partai politik yang memperoleh
suara 15% kursi DPRD atau 15% dari akumulasi suara sah yang diperoleh dalam
pemilu legislatif yang berhak mengajukan calon. Pandangan diatas sangat relefan
dengan kejadian yang terjadi di beberapa daerah termasuk daerah Bali.
Dimana beberapa daerah yang ada di Bali, sekitar 80% dimenangkan oleh PDIP
sehingga daerah-daerah tersebut sulit mendapatkan dua pasang calon.[9] · Sistem
dua putaran yang dianut ternyata dijadikan sarana dibeberapa daerah untuk
mengajukan anggaran pilkada secara berlebihan. Di Surabaya misalnya, KPUD
mengajukan anggaran dua putaran, dan disetujui oleh DPRD kotaSurabaya sekitar
36 milyar, dari dana ini, 23 milyar diantaranya dianggarkan untuk putaran
pertama dan selebihnya dianggarkan untuk putaran kedua. Padahal, disurabaya
tidak mungkin terjadi putaran kedua sebab calon yang ada tidak lebih dari empat
pasang.
· Cara
pemilihan kepala daerah dengan menempatkan figur sebagai pertimbangan utama
dalam menentukan pilihan kepala daerah. konsekuensi dari cara pemilihan semacam
akan meningkatkan ketegangan hubungan antar pendukung pasangan calon sebab
penerimaan dan penolakan terhadap pasangan calon dalam konteks kultur Indonesia
lebih banyak disebabkan oleh hubungan yang bersifat emosional ketimbang
rasional.
· Besarnya
daerah pemilihan, yaitu seluruh wilayah propinsi untuk pemilihan gubernur dan
seluruh wilayah kabupaten untuk pemilihan bupati, menyebabkan proses
pelaksanaan kampanye sulit dikendalikan.
· Ketidaksiapan
pemilih untuk menerima kekalahan calon yang diunggulkan. Dibeberapa daerah yang
telah melakukan pemilihan kepala daerah secara langsung, kejadian seperti ini
sering terjadi sehingga menimbulkan konflik antar pendukung pasangan calon.
3. Analisis
Masa Depan Pemilukada di Indonesia Berkaitan dengan masa depan pelaksanaan Pemiluda di Indonesia,
penulis cenderung untuk menghapuskan Pemilukada secara langsung. Alasan itu
didasarkan pada beberapa pertimbangan, antara lain :a. Masih
banyak permasalahan-permasalahan selama pemilukada di Indonesia yang perlu
dikaji secara mendalam, seperti masalah:‒ Money
politic dan cost politic
‒ Independensi
Pawaslu Daerah
‒ Lambatnya
pengiriman logistik
‒ Independensi
media masa
‒ Pendataan
pemilih
‒ Pendaftaran
dan penetapan pasangan calon
‒ Penghitungan
suara dan penetapan hasil akhir
‒ Konflik
pilkada
b. Demokrasi
yang dianut Indonesia lebih mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Subtansi
pemilu adalah adanya pergantian kepemimpinan/ rotasi kekuasaan secara rutin dan
berkala, untuk mencegah kekuasaan yang absolut. Pemilu secara langsung
merupakan demokrasi yang prosedural. Indonesia selama ini hanya merapkan
demokrasi secara prosedural, seharusnya penerapakan demokrasi lebih
mengutamakan subtansinya. Maka dari itu dalam memilih kepala daerah tidak
harus/mutlak secara langsung. Dalam Konstitusi tidak disebutkan dengan cara apa
memilih Kepala Daerah, yang terpenting dilakuakan secara demokratis. UUD 1945,
hanya mengamanatkan untuk memilih kepala daerah secara demokratis. “Gubernur,
Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.[10]”Menimbang permasalahan Pemilukada lebih banyak kelemaha dari
pada kelebihannya. Pemilukada merupkan tuntutan saat reformasi akibat trauma
rakyat terhadap rezim sebelummnya. Namun saat ini pemilukda yang sudah berjalan
hampir 1 dekade tidak membuahkan hasil yang maksimal. Banyak terjadi
pelanggaran pada tahapan pemilu, biaya terlalu besar dan kulitas pemimpin yang
dihasilkan buruk seperti terlibat kasus korupsi, dll.Pilkada yang selama ini berlangsung dinilai terlalu mahal, dan
mempunyai dampak sosial yang amat luas. Pilkada langsung dianggap sebagai pemicu
lahirnya politik transaksional, sehingga turut andil melahirkan perilaku
koruptif. Hal itu dikarenakan, setiap kandidat yang akan berlaga mengeluarkan
biaya yang besar.[11]Biaya ini muncul mulai dari pencalonan, kampanye hingga pada
perhitungan suara seperti untuk membiayai saksi. Untuk memperbaiki
kondisi ini, sejumlah kalangan mengusulkan agar Pilkada diusulkan serentak.
Langkah ini diharapkan dapat menekan biaya politik yang sudah dinilai demikian
tinggi. Mobilisasi suara antar daerah yang diduga kerap mewarnai Pilkada
juga dapat ditekan.Usulan yang paling ekstrim, adalah menghapus Pilkada langsung.
Usulan ini terlontar karena Pilkada acapkali menimbulkan konflik antar
pendukung. Tidak hanya itu, Pilkada langsung selam ini hanya dianggap
hanya berorientasi uang. Belum lagi, masalah ‘mahar’ untuk mendapatkan dukungan
dari partai politik. Masa depan
Pemilukada di IndonesiaSistem negara demokrasi di Indonesia adalah pilihan rasional
atas hipotesa fakta empiris dan sosiologis terkait struktur dan tatanan
masyarakat Indonesia saat ini. Ia tumbuh di atas metamorfosa pemikiran yang
membidani sebuah sistem politik untuk meletakkan masyarakat sebagai episentrum
partisipatoris akan quo vadis nasib bangsanya. Walaupun demokrasi
bukanlah merupakan sistem politik dan pemerintahan yang sempurna, namun saat
ini barangkali kita sepakat bahwa pilihan demokrasi adalah pilihan
terbaik dari sistem lainnya. Sebut saja misalnya monarki, aristokrasi,
otokrasi, plutokrasi, gerontokrasi,dll.Walaupun demikian, sistem demokrasi yang dipilih negara untuk
mengorganisasikan tatanan kehidupan bermayarakat, berbangsa dan bernegara
bukanlah sebuah sistem sempurna dan tanpa cacat. Oleh karenanya, sebuah
sistem politik yang mengonstruksi sebuah negara, juga perlu menimbang
berbagai Implikasi serius yang timbul terkait ekses subyektif maupun obyektif
dari penerapan sistem demokrasi. Baik penerapannya melalui sistem perwakilan
(melalui mekanisme pemilihan wakil rakyat DPR/DPRD), maupun langsung (melalui
mekanisme pemilu presiden dan pilkada).Pemilihan Umum secara langsung dalam pilkada, sejatinya
merupakan salah satu wujud demokrasi yang saat ini tengah diterapkan di
Indonesia. Perwujudan demokrasi tersebut, pada hakekatnya merupakan upaya
memberdayakan peran dan partisipasi masyakarat terkait pengejewantahan hak-hak
politik dan sosialnya, yang dijamin secara konstitusional. Medium demokrasi dan
demokratisasi melalui mekanisme politik partisipasi inilah yang diharapkan akan
mampu memberikan multiplier effect. Bukan saja terkait pada semakin besarnya
tingkat pendewasaan berfikir masyarakat akan hak dan kewajiban
politik-konstitusionalnya, namun juga diharapkan melalui mekanisme dan sistem
pemilihan langsung (baik pilpres maupun pilkada). Posisi tawar masyarakat
terkait kepentingannya menentukan masa depan yang lebih baik semestinya menjadi
keniscayaan.[12]Terkait hasil dan berbagai problem dalam pelaksanaan pilkada
itulah, saat ini diperlukan kembali upaya menakar ekses penerapan sistem
pemilihan langsung (Pilkada). Saat ini berbagai bentuk wacana untuk
mengevaluasi kembali penerapan pilkada sangat penting untuk memberikan
referensi bagi pengambil kebijakan negeri ini untuk menimbang kembali
implementasi pilkada secara konstruktif dan proporsional, tanpa mencederai
substansi peran partisipasi politik masyarakat. Analisis ini menjadi catatan
penting mengingat pelaksanaan pilkada selama ini. Secara empiris, akhirnya
menyadarkan kita akan perlunya kembali menelaah arah dan cita-cita politik
masyarakat terkait bagaimana meletakkan proses, pelaksanaan dan hasil pilkada
dalam konstruksi pembangunan kesejahteraan masyarakat.Implikasi Dinamika
Pelaksanan Pemilukada di IndonesiaBerdasarkan perspektif pemberitaan media massa tentang
pelaksanaan pilkada di Indonesia, terdapat beberapa keyword yang sangat penting sebagai ranah
kajian bagi pengambil kebijakan negeri ini untuk menempatkan kembali quo
vadis pilkada dalam
konteks yang lebih produktif bagi kemaslahatan masyarakat. Keyword penting tersebut adalah sebagai
berikut :Pertama, Pilkada di daerah
masih merupakan pilihan rasional yang masih diinginkan masyarakat untuk
menentukan pemimpinnya di daerah. Fakta opini masyarakat ini menjadi catatan
penting pemerintah. Mengingat, masyarakat kita secara sosiologis memandang
bahwa pemilihan langsung untuk menunjuk seorang pemimpin yang berasal dari
putra daerah merupakan kebanggaan, Selain itu, juga masih menganggap
bahwa mekanisme pemikiran dan kepentingan masyarakat akan nilai keterwakilan
aspirasinya masih lebih besar terakomodir dengan baik. Ketimbang, asumsi bahwa
pemimpin tersebut merupakan titipan yang berasal dari pusat kekuasaan seperti
yang terjadi di masa orde baru dulu. Persepsi publik inilah yang kerap
dijadikan oleh pemerintah untuk melegitimasi pencitraan politiknya kepada dunia
internasional, bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang sangat produktif
melahirkan struktur kehidupan bermasyarakat yang memiliki nilai-nilai
demokratisasi dengan baik.
Persepsi publik masyarakat ini seharusnya perlu dikritisi agar
masyarakat memahami dan cenderung lebih penting mendudukkan kembali nilai-nilai
objektifitas untuk mendefinisikan kembali secara personal maupun kepemimpinan
seorang kepala daerah. Sebab faktanya, pemimpin yang berasal dari putra daerah
tidak serta merta berkoefisien korelatif secara langsung dengan peningkatan
kesejahteraan masyarakat.Perspektif kepemimpinan ini dikaitkan dengan struktur kekuasaan
pemerintah daerah, yang di peroleh oleh seorang kepala daerah dengan
ongkos politik yang tidak murah. Biaya pilkada yang sangat mahal inilah yang
justru menyebabkan sistem demokrasi langsung di daerah berkembang secara tidak
proporsional dan obyektif. Terminologi yang tepat mendefinisikan maksud
pernyataan ini adalah bahwa proses pilkada yang mahal itu telah menyebabkan
terjadinya kapitalisasi pilkada dengan kultur kekuasaan yang ekonomistik, yang
menempatkan kekuasaan politik kepala daerah hanya sebagai investasi an
sich dan melihat
potensi daerah sebagai opportunity ekonomi bagi kepentingan pribadinya.Implikasi politik terjadinya kapitalisasi pilkada inilah yang
menyebabkan demokratisasi-partisipasi masyarakat menjadi ter-negasi oleh
paradigma tersebut. Artinya masyarakat hanya diletakkan sebagai obyek politik
massa ,yang dimanfaatkan calon kepala daerah hanya ketika proses pilkada itu
berlangsung. Masyarakat kemudian menjadi mahfum dengan terminologi kapitalisasi
pilkada ini, karena proses pilkada sarat dengan politik uang.Masyarakat memang sejatinya mendapat “berkah” sesaat dari proses
pelaksanaan pilkada. Setelah pelaksanaan pilkada usai, maka kepala daerah
terpilih, akan sibuk dengan upaya merekapitalisasi kembali asset yang telah
dikeluarkan selama proses “investasi” pemilihan itu berlangsung. Fakta ini bisa
dilihat dengan data 10 tahun terakhir terkait tingkat korupsi kepala daerah
yang sangat tinggi. Termasuk data yang dilansir oleh lembaga-lembaga survei
bahwa saat ini saja 60 persen lebih, kepala daerah dipimpin oleh seorang
pemimpin berstatus tersangka.Karena terjadinya pola kapitalisasi pilkada inilah, maka yang
terjadi adalah siapa yang mempunyai modal besar, dialah yang akan menjadi
pemimpin. Karena kapitalisasi pilkada ini pulalah kemudian berimbas bagi
ketidakrelaan calon yang kalah dalam pilkada. Ketidakrelaan kekalahan ini
kemudian dimanifestasikan dalam upaya mempolitisasi hasil pilkada baik secara
formal-konstitusional (melalui gugatan ke MK), maupun mempolitisasi massa untuk
tidak menerima calon pemimpin yang menang. Sehingga, berimplikasi kepada
timbulnya resistensi politik bagi kepemimpinan kepala daerah terpilih. Lebih
parah lagi, semakin diproduksinya eskalasi konflik politik dan
konflik sosial dalam berbagai spektrum kepentingan, oleh calon yang tidak
berjiwa besar menerima kekalahan. Dalam konteks yang demikian, maka kita kerap
menyaksikan bahwa konflik politik dan sosial di daerah tidak pernah kunjung
usai dan terus terpelihara dengan baik walaupun pelaksanaan pilkada jauh telah
usai.Kedua, pilkada merupakan
manifestasi reformasi birokrasi yang merubah mindset pengelolaan negara yang tadinya
bersifat sentralistik menjadi desentralistik.
Sebagai salah satu buah semangat reformasi adalah merubah
tatanan struktur pengelolaan birokrasi negara yang tadinya sentralistik menjadi
desentralistik. Hal ini merupakan antitesa dari semangat merubah tatanan dari
orde baru menjadi sistem baru yang dikenal pasca reformasi sekarang ini. Namun
demikian, setelah 10 tahun lebih reformasi bergulir, semangat desentralisasi
ini cenderung dimanfaatkan oleh pemimpin daerah untuk “bebas” mengeksploitasi
daerah sesuai dengan selera kekuasaannya. Radikalisasi pengelolaan pemerintahan
daerah inilah yang menyebabkan konstitusi negara yang diatur dan dijalankan
oleh pemerintah pusat terabaikan. Yang terlihat, justru munculnya
raja-raja kecil yang sangat “otonom” menguasai daerah.Akibatnya, program-program nasional yang dicanangkan oleh
pemerintah pusat menjadi terhambat. Fakta terjadinya distorsi ini terlihat
ketika presiden, sebagaimana dilansir berbagai media massa, menyatakan
salah satu gagalnya program-program berskala nasional, karena ulah arogansi
sepihak pimpinan daerah. Misalnya , masalah kebijakan ekonomi dan
investasi, justru sebagian besar dihambat pimpinan pemerintah daerah
sekelas walikota dan bupati. Terhambatnya program-program tersebut, bukan
cuma terkait dengan arogansi pemimpin daerah, tapi juga disebabkan karena
banyaknya regulasi dalam bentuk perda dan kebijakan pemerintah daerah yang
tidak inheren atau justru bertentangan dengan kebijakan dan regulasi pemerintah
pusat. ini menunjukkan absurditas hiraki pemerintahan. Kebijakan pemerintah
pusat menjadi gembos ketika masuk pada tataran pelaksanaan teknis di daerah.Pemerintah memang kerap melakukan evaluasi terkait persoalan
ini. Namun faktanya, hingga saat ini, problem mendasar masalah regulasi dan
kebijakan pemimpin daerah yang menghambat kebijakan program nasional pemerintah
pusat, masih kerap terjadi. Salah satu sebab mendasar yang menjadi argumentasi
pemerintah daerah adalah menyangkut persoalan intervensi pemerintah pusat,
yang dianggap melanggar sendi-sendi atau semangat otonomi daerah.
Kesalah-kaprahan memaknai otonomi daerah inilah yang menyebabkan pemerintah
pusat sampai saat ini mengalami dispute dan seolah tidak memiliki kekuasaan
“memaksa”. Padahal, pemerintah pusat secara formal dan konstitusional punya
kewenangan untuk meluruskan kesalahpahaman pengelolaan daerah, karena terlalu
sempit menafsirkan konsep kepala daerah dipilih langsung oleh rakyatnya di
daerah. Sehingga, pucuk pimpinan pemerintah daerah “merasa” mempunyai
kewenangan mutlak untuk melakukan kebijakan apapun.Ketiga, Pemilukada telah
meletakan sistem demokrasi di Indonesia baru sebatas demokrasi “theatrical“. Yakni demokrasi yang
diusung melalui jalan pemilihan umum, hanya sebatas kosmetika wajah suatu
bangsa yang seolah-olah menjalankan nilai demokrasi dalam pemilihan umum.
Yaitu, langsung, umum, bebas, jujur dan adil. Namun, dalam prakteknya hal
tersebut sangat jauh dari nilai-nilai yang sesungguhnya. Walaupun kita sibuk
menjustifikasi bahwa demokrasi memerlukan proses. Tapi, faktanya proses
tersebut tetap haruslah bersinergi dengan faktor-faktor lain, yang
mendasari terbentuknya proses demokratisasi tersebut secara konstruktif.
Faktor-faktor tersebut antara lain dipengaruhi oleh wibawanya
Pemerintah Pusat (Presiden dan DPR) dan KPU/ KPUD dalam membuat aturan yang
tegas terkait rule of the game pemilukada. Hal tersebut penting,
mengingat selama ini regulasi yang tegas hanya terkait pada proses dan
mekanisme pemilhan. Namun sangat tidak berbanding lurus dengan ketegasan
membangun law enforcement bagi setiap bentuk pelanggaran etika
dan pelanggaran konstitusional aturan pemilukada. Sehingga inilah yang
dikatakan, demokrasi kita masih bersifat theatrical, bukan demokrasi substantif
yang benar-benar mengusung nilai-nilai demokratisasi dan hak-hak civil
society dengan baik.Terkait dengan masalah civil society ini, maka faktor yang mendorong
berkembangnya proses demokrasi sangat dipengaruhi juga oleh, bagaimana peran
parpol dalam mencetak kader pemimpin di daerah. Sebab selama ini proses
pengkaderan dan lahirnya pemimpin melalui jalan mekanisme politik praktis, khususnya
di daerah masih sangat lemah. Kondisi ini yang menyebabkan hampir sebagian
besar pemimpin daerah lahir dari seorang pengusaha dan/ atau mereka yang hanya
memliki modal kuat. Sementara, parpol berfungsi hanya sebagai stempel yang
menjadi kendaraan sekaligus supir yang ditumpangi oleh calon kepala Daerah.
Kondisi obyektif inilah yang menyebabkan hasil pemilukada secara langsung tidak
serta merta menghasilkan pemimpin yang berkualitas, kompeten dan memiliki
integritas serta peduli dengan rakyatnya.Seperti yang telah diulas sebelumnya, karena persoalan melihat
perspektif pemilukada sebagai sebuah peluang ekonomis inilah maka yang terjadi
praktek korupsi di daerah dan suburnya persoalan money
politics tak pernah
kunjung usai dan sulit diberantas. Sinergitas dan kolaborasi efektif antara
parpol dan calon kepala daerah dalam konteks melihat begitu besarnya biaya
pemilukada adalah dikarenakan antara calon kepala daerah dengan parpol
sama-sama memiliki persepsi dan mindset yang sama, yakni memahami pilkada
sebatas sebagai sebuah komoditas dan industri yang profitabilitasnya memadai
untuk tujuan-tujuan jangka pendek maupun jangka panjang kekuasaan-bukan
kesejahteraan sosial masyarakat.Keempat, Alasan kompatibilitas bahwa pemilihan langsung
presiden juga harus dilakukan pula terhadap gubernur, bupati dan walikota
harus segera dievaluasi. Alasan kompabilitas sebagai implementasi UU No.32
Tahun 2004, sebenarnya dimaksudkan agar arah pembangunan politik dan
ekonomi bersinergi serta terintegrasi dari pusat sampai ke daerah. Namun pada
kenyataannya, kesamaan proses inilah yang menjadi akar penyebab hirarki
kepemimpinan dalam pemerintahan menjadi tersekat-sekat dan tidak sejalan.
Sehingga, antara pemimpin pemerintahan di daerah dan
pusat seolah masing-masing berdiri sendiri. Implikasinya, baik pemerintah
maupun pejabat di daerah bekerja secara parsial-tidak kontekstual sesuai dengan
arah dan visi negara. Dengan kondisi seperti ini, sebenarnya sama saja bangsa
ini menerapkan pseudo demokrasi. Hanya menjadikan pemimpin
sekedar simbol kosong, yang tidak memiliki peran strategis dalam memberdayakan
rakyatnya. Dengan kata lain, kondisi ini menyebabkan ada atau tidaknya
pemimpin, pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di daerah khususnya,
ditentukan sendiri oleh kesanggupan dan nasib individu masyarakatnya. Padahal
negara berperan melindungi segenap masyarakat dan memajukan kesejahteraan
masyarakat.Empat kata kunci tentang implikasi dinamika pelaksanaan
pilkada ini, seyogyanya mendorong pengambil kebijakan negeri ini untuk
menemukan formasi ideal dan proporsional terkait masa depan bangsa. Khususnya,
menyangkut masalah proses suksesi kepemimpinan melalui pemilukada. Sehingga
dapat menimbang dan menakar secara obyektif, antara konsep sistem pelaksanaan
demokrasi di daerah dengan ekses yang timbul selama penerapan pemilukada secara
langsung di daerah. Proses ini seharusnya menjadikan bangsa besar
ini lebih peka terhadap berbagai akar persoalan baik secara ideologis,
sosiologis maupun filosofis yang kerap menjadi preseden yang tak pernah
selesai, atau minimal tereliminasi kualitas dan kuantitatsnya.Seperti besarnya biaya politik pemilukada dan money
politics selama
proses pemilukada, yang berimbas pada terjadinya korupsi pemimpin di daerah
sebagai bentuk pengganti ongkos investasi menjadi pemimpin. Selain itu,
terjadinya resistensi pemimpin daerah kepada pemerintah pusat, yang menyebabkan
eksistensi pemerintah pusat justru tidak legitimate di mata pemerintah daerah terkait
dengan banyaknya program, kebijakan dan kebijakan berskala nasional yang tidak/
enggan dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Bahkan, tak jarang di tentang oleh
pemerintah di daerah. Kemudian, lestarinya konflik horizontal antar masyarakat
akar rumput karena kerap dipicu oleh pemanfaatan politik massa oleh calon
pemimpin dan pemimpin yang berkuasa didaerah. Baik selama proses pemilukada
maupun sepanjang pemimpin tersebut memimpin daerah, yang konstelasi masalahnya
kerap dipicu oleh calon pemimpin daerah yang kalah dalam kompetisi pemilihan.Pada akhirnya, setidaknya perlu evaluasi secara tepat,
proporsional dan obyektif. Sangat logis, bilamana mewacanakan kembali sistem
pemilihan langsung hanya cukup sampai dengan presiden dan gubernur saja.
Dengan cara dan mekanisme yang tetap menjunjung tinggi peran dan partisipasi
masyarakat, tanpa mencederai hak dan kepentingan civil
society masyarakat
terhadap negara. BAB IIIPENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkaan pembahasan permasalahan pada BAB II : PEMBAHASAN,
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa :1. Analisis
Kelebihan PemilukadaPertama, pilkada secara langsung memungkinkan proses yang lebih
Partisipasi. Kedua, proses pilkada secara langsung memberikan
ruang dan pilihan yang terbuka bagi masyarakat untuk menentukan calon pemimpin
yang memiliki kapasitas, dan komitmen yang kuat serta legitimate dimata masyarakat.Ketiga, mendekatkan
elit politik dengan konstituen atau masyarakat. Keempat, lebih terdesenralisasi.
Beberapa kelebihan dalam penyelenggaraan
pilkada langsung antara lain sebagai berikut :a. Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat.
b. Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945.c. Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi bagirakyat.
d. Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah.e. Pilkada langsung sarana bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional. 2. Analisis
Kelemahan PemilukadaMenurut Leo Agustino ada sebelas (11) permasalahan pemilukada di
Indonesia, yaitu :1) Daftar Pemilih tidak akurat2) Persyaratan Calon tidak lengkap3) Pencalonan Pasangan dari parpol4) Penyelenggara atau KPUD tidak netral5) Panwas pilkada dibentuk terlambat6) Money politik7) Dana kampaye8) Mencuri start kampaye9) PNS tidak netral10) Pelanggaran
kampanye11) Intervensi
DPRDSelain itu, masih terdapat banyak kelemahan pemilukada secara
langsug di Indonesia baik yang dilakukan secar tidak disengaja ataupu
terorganisir.3. Analisis
Masa Depan Pemilukada di IndonesiaBerkaitan dengan masa depan pelaksanaan Pemiluda di Indonesia,
penulis cenderung untuk menghapuskan Pemilukada secara langsung. Alasan itu
didasarkan pada beberapa pertimbangan, antara lain :Pertama, masih
banyak permasalahan-permasalahan selama pemilukada di Indonesia yang perlu
dikaji secara mendalam, seperti masalah: Money politic dan cost politic;
Independensi Pawaslu Daerah; Lambatnya pengiriman logistik; Independensi media
masa; Pendataan pemilih; Pendaftaran dan penetapan pasangan calon; Penghitungan
suara dan penetapan hasil akhir; Konflik pilkadaKedua, Demokrasi yang dianut Indonesia lebih mengutamakan musyawarah
untuk mufakat. Subtansi pemilu adalah adanya pergantian kepemimpinan/ rotasi
kekuasaan secara rutin dan berkala, untuk mencegah kekuasaan yang absolut.
Pemilu secara langsung merupakan demokrasi yang prosedural. Indonesia selama
ini hanya merapkan demokrasi secara prosedural, seharusnya penerapakan
demokrasi lebih mengutamakan subtansinya.
Pilkada yang selama ini berlangsung terlalu mahal, dan mempunyai
dampak sosial yang amat luas. Pilkada langsung dianggap sebagai pemicu lahirnya
politik transaksional, sehingga turut andil melahirkan perilaku koruptif.
Hal itu dikarenakan, setiap kandidat yang akan berlaga mengeluarkan biaya yang
besar. Biaya ini muncul mulai dari pencalonan, kampanye hingga pada perhitungan
suara seperti untuk membiayai saksi. Untuk memperbaiki kondisi ini,
sejumlah kalangan mengusulkan agar Pilkada diusulkan serentak. Langkah ini
diharapkan dapat menekan biaya politik yang sudah dinilai demikian tinggi.
Mobilisasi suara antar daerah yang diduga kerap mewarnai Pilkada juga
dapat ditekan. Usulan yang paling ekstrim, adalah menghapus Pilkada
langsung. Usulan ini terlontar karena Pilkada acapkali menimbulkan konflik
antar pendukung. Tidak hanya itu, Pilkada langsung selam ini hanya
dianggap hanya berorientasi uang. Belum lagi, masalah ‘mahar’ untuk mendapatkan
dukungan dari partai politik. B. SARAN Penulis dapat memberikan saran, terkait Pemilukada yaitu
dihapus. Mekanisme lebih lajut dapat dibahas Pemerintah yaitu Presiden dan
DPR-RI tentang bagaimana pengangkatan kepala daerah, dipilih DPRD atau diangkat
Presiden. Pertama, Pemilukada dihapus secara keseluruhan dan mekanisime
pemilihan diserahkan ke DPRD, dengan memperbaiki rekruitmen politik dan sistem
kepartaian terlebih dahalu. Agar kader partai yang memiliki kapasitas dan kapabilitas
berhak menduduki jabatan kepala daerah. Selain itu untuk mencegah kongkalikong,
haruslah dibuat mekanisme yang tidak biasa main dibelakang anatara DPRD dan
calon pasangan. Kedua, pengangakatan kepala daerah oleh Presiden harus memunuhi
kriteria-kriteria/ persyaratan yang ditetapkan oleh peraturan
perundang-undanagan, agar Presiden tidak sewenang-wenang mengangkat dan
memnerhentikan kepala daerah.Pada akhirnya, setidaknya perlu evaluasi secara tepat,
proporsional dan obyektif. Sangat logis, bilamana mewacanakan kembali sistem
pemilihan langsung hanya cukup sampai dengan presiden. Dengan cara dan
mekanisme yang tetap menjunjung tinggi peran dan partisipasi masyarakat, tanpa
mencederai hak dan kepentingan civil society masyarakat terhadap negara. DAFTAR PUSTAKA Agustino, Leo. 2009. Pilkada
dan Dinamika Politik Lokal. Yogyakata: Pustaka Pelajar.Author.
(2010, 19 Desember). Makalah
Otonomi Daerah. Diperoleh 2 Januari 2013, dari
http://miellahsmartflower.blogspot.com.Author. (2011, 7 Februari). Analisa Proses Pelaksanaan
Pemerintahan Daerah. Diperoleh 2 Januari 2013, dari http://liarkanpikir.wordpress.com.Author. Kelebihan
dan kekurangan pilkada secara langsung. Diperoleh 2 Januari 2013, dari http://www.yousaytoo.com/kelebihan-dan-kekurangan-pilkada-secara-langsung/2745411.Firmanto,
Taufik. (2011, 9 Desember). Kedaulatan Rakyat Dalam Pemilihan Umum di Indonesia.Diperoleh 2
Januari 2013, dari http://politik.kompasiana.com/2011/12/09/kedaulatan-rakyat-dalam-pemilihan-umum-di-indonesia.
Iqbal,
M. (2012, 10 Juli). Dulu Pilkada,
Lalu Pemilukada, Kini Pilgub. Diperoleh 3 Januari 2013, dari http://news.detik.com/read/2012/07/10/093845/1961693/10/dulu-pilkada-lalu-pemilukada-kini-pilgub.Kamo,
Jhon. (2011, 16 April). Kontestasi Elit Lokal Dalam Pilkada. Diperoleh
2 Januari 2013, darihttp://idadagiyakanews.multiply.com/journal/item/54/KONTESTASI-ELIT-LOKAL-DALAMPILKADA.
Mahardika,
Ariyanto. (2012, 18 September). Pilkada
langsung: Serentak atau Dihapus.
Diperoleh 3 Januari 2013, dari http://www.soloposfm.com/2012/09/pilkada-langsung-serentak-atau-dihapus/.Prasojo E., Maksum, Irfan Ridwan., dan Kurniawan, Teguh. 2006. Desentralisasi &
Pemerintahah Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal & Efisiensi Struktural.
Jakarta: FISIP UI.Sofyan, Syafran. 2012. Permasalahan dan Solusi Pemilukada. Diperoleh
2 Januari 2013, darihttp://www.lemhannas.go.id/portal/in/daftar-artikel/1634-permasalahan-dan-solusi-pemilukada.html.Trinada, Andi. (2011, 22 Maret). Menimbang Kembali Pelaksanaan
Pemilukada di Indonesia. Diperoleh 2 Januari 2013, dari http://politik.kompasiana.com.Wikipedia
Indonesia. 2012. Pemilihan kepala daerah di Indonesia. Diperoleh
2 Januari 2013, darihttp://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_kepala_daerah_di_Indonesia.
Peraturan
Perundang-undanganUndang-Undang Dasar
Republik Indonesia 1945Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
[1] Eko Prasojo, Irfan Ridwan Maksum dan Teguh
Kurniawan, Desentralisasi & Pemerintahah Daerah: Antara Model
Demokrasi Lokal & Efisiensi Struktural, Jakarta: DIA FISIP UI, 2006
[2] http://idadagiyakanews.multiply.com/journal/item/54/KONTESTASI-ELIT-LOKAL-DALAM PILKADA
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_kepala_daerah_di_Indonesia [4] Pasal 56 (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
[5] http://news.detik.com/read/2012/07/10/093845/1961693/10/dulu-pilkada-lalu-pemilukada-kini-pilgub
[6] http://www.yousaytoo.com/kelebihan-dan-kekurangan-pilkada-secara-langsung/2745411 [7] http://liarkanpikir.wordpress.com/2011/02/07/60/ [8] Leo agustino, Pilkada dan Dinamika Politik Lokal,
Yogyakata, PustakaPelajar , 2009, hal 121 - 152
[9] http://www.yousaytoo.com/kelebihan-dan-kekurangan-pilkada-secara-langsung/2745411 [10] Pasal 18 ayat (4) UUD 1945
[11] http://www.soloposfm.com/2012/09/pilkada-langsung-serentak-atau-dihapus/
[12] Andi Trinada, Menimbang Kembali Pelaksanaan Pemilukada
di Indonesia,http://politik.kompasiana.com/2011/03/22/menimbang-kembali-pelaksanaan-pemilukada-di-indonesia/
x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar